Kamis, 07 November 2013

ARBITRASE


PEMBAHASAN

A.    Pengertian Arbitrase
Kata “arbitrase” berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atau schiedsruch(Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.
Jadi arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata swasta diluar peradilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dimana pihak penyelesaian sengketa tersebut dipilih oleh para pihak yang bersangkutan yang terdiri dari orang-orang yang tidak berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan, orang-orang mana akan memeriksa dan memberi putusan terhadap sengketa tersebut.
 Arbitrase di Indonesia dikenal dengan “perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”.
Secara harfiah, perkataan arbitrase adalah berasal dari kata arbitrare (Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Definisi secara terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat ini walaupun pada akhirnya mempunyai inti makna yang sama.
Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.
H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar  perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.
Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus Pengadilan. Poin penting yang membedakan Pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur Pengadilan (judicial settlement) menggunakan satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut. Dalam arbitrase, arbitrator bertindak sebagai “hakim” dalam mahkamah arbitrase, sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang sedang ditangani.
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking anabiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, thedelay, the expense and vexation of ordinary litigation".Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1.      Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para     pihak   sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo).
2.      Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.

B.     Sejarah Arbitrase di Indonesia
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op deRechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999.
Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.

C.     Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementaraitu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d1854.

D.     Jenis-Jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi).  Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut:  "Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan- peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak  yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir". 
Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission of International Trade Law) adalah sebagai berikut: "Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjianakan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:
1.   Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam  perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.
2.   Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.

E.      Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum UndangUndang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
1.   Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin.
2.   Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari;
3.   Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman,    memiliki latar  belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil;
4.    Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya, 
5.   para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
6.   Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara H.MN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah:
1.   Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
2.    Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
3.    Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
4.   Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase.
Meskipun penyelesaian melalui arbitrase diyakini memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan jalur pengadilan, tetapi penyelesaian melalui Arbitrase juga memiliki kelemahan-kelemahan. Beberapa kelemahan dari Arbitrase dan adalah :
a.    Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, ICC dan ICSID
b.    Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga Arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga Arbitrase yang ada.
c.    Lembaga Arbitrase tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi putusannya.
d.   Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya.
e.    Kurangnya para pihak memegang etika bisnis, sepertikejujuran dan kewajaran.

F.      Hubungan Arbitrase dengan Pengadilan
Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan pasal 14 ayat (3) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengambil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

G.     Pelaksanaan Arbitrase
1.   Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat. 
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak  permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
2.   Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga diwilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UNConvention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamahAgung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi.

H.     Sebab Batalnya Perjanjian Arbitrase
Perjanjian arbitrase dinyatakan batal, apabila dalam proses penyelesaian sengketa terjadi peristiwa-peristiwa :
1.   Salah satu dari pihak yang bersengketa meninggal dunia.
2.   Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan, inovasi (pembaharuan utang), dan insolvensi;
3.   Pewarisan;
4.   Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok;
5.   Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut;
6.   Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok;



Tidak ada komentar:

Posting Komentar