PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Arbitrase
Kata “arbitrase” berasal dari bahasa
asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau
istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : perwasitan atau arbitrage
(Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atau schiedsruch(Jerman), arbitrage
(Prancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.
Jadi arbitrase adalah cara
penyelesaian sengketa perdata swasta diluar peradilan umum yang didasarkan pada
kontrak arbitrase secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dimana
pihak penyelesaian sengketa tersebut dipilih oleh para pihak yang bersangkutan
yang terdiri dari orang-orang yang tidak berkepentingan dengan perkara yang
bersangkutan, orang-orang mana akan memeriksa dan memberi putusan terhadap
sengketa tersebut.
Arbitrase di Indonesia dikenal
dengan “perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang
No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat banding
terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk
mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”.
Secara harfiah, perkataan arbitrase
adalah berasal dari kata arbitrare (Latin) yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Definisi secara terminologi
dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat ini walaupun pada akhirnya
mempunyai inti makna yang sama.
Subekti menyatakan bahwa arbitrase
adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para
hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau
menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.
H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan
bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang
dilakukan secara yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan
pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
H.M.N. Purwosutjipto menggunakan
istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan
perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka
tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan
diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para
pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.
Pada dasarnya arbitrase adalah suatu
bentuk khusus Pengadilan. Poin penting yang membedakan Pengadilan dan
arbitrase adalah bila jalur Pengadilan (judicial settlement) menggunakan
satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase menggunakan
forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut. Dalam arbitrase, arbitrator
bertindak sebagai “hakim” dalam mahkamah arbitrase, sebagaimana hakim permanen, walaupun
hanya untuk kasus yang sedang ditangani.
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration.
an arrangement for taking anabiding by the judgement of selected persons in
some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of
justice, and is intended to avoid the formalities, thedelay, the expense and
vexation of ordinary litigation".Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya
arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1.
Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de
compromitendo).
2.
Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak
setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
Sebelum UU Arbitrase berlaku,
ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen
Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3
ayat(1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas
dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
B. Sejarah
Arbitrase di Indonesia
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu
alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun
jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan
dipakainya Reglement op deRechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula
Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de
rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan
diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999.
Dalam Undang Undang nomor 14 tahun
1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat
dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa
penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui
arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai
kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
dieksekusi dari Pengadilan.
C. Objek
Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa
yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan
atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5
ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang
perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman
modal, industri dan hak milik intelektual. Sementaraitu Pasal 5 (2) UU Arbitrase
memberikan perumusan bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur
dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d1854.
D. Jenis-Jenis
Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase
sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen
(institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan
aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU
No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau
UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian
yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan
yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu
disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu
lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan
aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai
aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The
International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules
dari The International Centre for Settlement of Investment
Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan
dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional
Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut: "Semua
sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan
dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut
peraturan- peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua
belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat
pertama dan terakhir".
Standar klausul arbitrase UNCITRAL
(United Nation Comission of International Trade Law) adalah sebagai berikut: "Setiap sengketa, pertentangan
atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan
prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjianakan diselesaikan melalui
arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”
Pada dasarnya arbitrase dapat
berwujud dalam dua bentuk, yaitu:
1.
Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang
tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa.
2.
Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri
yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua
BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada
atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah
suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase.
Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat
setelah sengketa timbul.
E.
Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat
disimpulkan melalui Penjelasan Umum UndangUndang Nomor 30 tahun 1999 dapat
terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase
dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
1.
Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin.
2.
Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif dapat dihindari;
3.
Para pihak dapat memilih arbiter yang
berpengalaman, memiliki latar belakang yang
cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil;
4.
Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian
masalahnya,
5.
para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
6.
Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak
melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Para ahli juga mengemukakan
pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi
dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau
perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan
dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara
H.MN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit
(arbitrase) adalah:
1.
Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
2.
Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang
diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan
para pihak.
3.
Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para
pihak.
4.
Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak
mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan.
Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para
pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase
seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan. Dari praktek
yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya
upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase.
Meskipun penyelesaian melalui
arbitrase diyakini memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan jalur pengadilan,
tetapi penyelesaian melalui Arbitrase juga memiliki
kelemahan-kelemahan. Beberapa kelemahan dari Arbitrase dan adalah :
a.
Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat
awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri.
Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui
keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, ICC dan ICSID.
b.
Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga
enggan memasukkan
perkaranya kepada lembaga-lembaga Arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang
diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga Arbitrase yang ada.
c.
Lembaga Arbitrase tidak mempunyai daya paksa
atau kewenangan melakukan eksekusi putusannya.
d.
Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil
penyelesaian yang dicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali
mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu,
perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya.
e.
Kurangnya para pihak memegang etika bisnis, sepertikejujuran dan kewajaran.
F. Hubungan
Arbitrase dengan Pengadilan
Lembaga arbitrase masih memiliki
ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan
arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di
pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase
tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati
putusannya.
Peranan pengadilan dalam
penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain mengenai
penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada
kesepakatan pasal 14 ayat (3) dan dalam hal pelaksanaan putusan
arbitrase nasional maupun internasional yang harus dilakukan melalui
mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan
menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional
mengambil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
G. Pelaksanaan
Arbitrase
1. Putusan
Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase
nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya para pihak
harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat
dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan
didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan
menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional
oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu
30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase
nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat
mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan
hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional
tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan
Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase
nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar
Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua
Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan
pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka,
Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan
terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
2. Putusan
Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan
putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada
ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang
merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi
berlaku juga diwilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York
ditandatangani UNConvention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut
dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan
didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung
mengeluarkan Peraturan mahkamahAgung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi
New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan
arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi.
H. Sebab
Batalnya Perjanjian Arbitrase
Perjanjian arbitrase dinyatakan
batal, apabila dalam proses penyelesaian sengketa terjadi
peristiwa-peristiwa :
1. Salah satu dari pihak yang
bersengketa meninggal dunia.
2.
Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami
kebangkrutan, inovasi (pembaharuan utang), dan insolvensi;
3.
Pewarisan;
4.
Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok;
5.
Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialih tugaskan pada pihak ketiga
dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut;
6.
Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar