Sabtu, 02 Maret 2013

HUKUM GRATIFIKASI


BAB I
PENDAHULUAN

Pada beberapa hari terakhir ini, kita mungkin terus mengelus dada setiap kali membaca, mendengarkan atau menonton berita yang ditayangkan di berbagai media. Bagaimana tidak? setiap hari atau mungkin setiap kali acara berita, selalu muncul berita tentang kasus suap.
Ya, kata-kata suap sekarang memang seakan tidak lagi tabu untuk diperbincangkan dan didengarkan. Penyebabnya?, tentu saja karena mungkin kasus ini sudah terlalu sering terjadi di negeri ini, bahkan mungkin sudah merebak dimana-mana, dalam berbagai jabatan, dan tingkatan.
Maka dari itu mari bersama-sama kita berantas segala bentuk suap dan korupsi yang merupakan perampasan hak-hak rakyat. Penyakit ini seakan sudah menjadi suatu akar berbagai persoalan bangsa. Maka sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mencegah perbuatan ini semakin berkembang dengan cara menghindarkan diri dan generasi muda dari perbuatan-perbuatan ini.


Rumusan Masalah :
1.   Sebutkan Pengertian Gratifikasi ?
2.   Sebutkan Dampak Negatif Gratifikasi ?










BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gratifikasi
                        Hadiah Pegawai atau sering disebut dengan Gartifikasi adalah uang hadiah yang diberikan pada pegawai di luar gaji yang yang telah ditentukan. Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penjelasan Pasal 12 B ayat (1) gratifikasi adalah, pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.
Adapun dalam bahasa arab, suap atau sogok dikenal dengan riswah, yang diartikan sebagai “Apa-apa yang diberikan agar ditunaikan kepentingannya atau apa-apa yang diberikan unutk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar “ (Mu’jamul Wasith).

B.  Gratifikasi Dalam Syari’at Islam
Dalam Syariat Islam, perkara suap-menyuap ini sangat ditentang dan diancam dengan ancaman yang mengerikan, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , beliau bersabda :
لعنة الله على الراشي والمرتشي
“Allah melaknat orang yang memberi suap, & yang menerima suap” (HR. Ahmad & selainnya dari Abdullah bin Amr’ Rhadiyallahu ‘anhuma , Dishohihkan Al-Albani dlm Shohihul Jami’ 5114 & dlm kitab-kitab beliau lainnya)”
Dalam agama Islam hadiah tidak hanya diperbolehkan, malah merupakan tindakan mulia. Agama juga menganjurkan untuk memakmurkan sedekah (charity). Namun, dalam Islam diberi garis pemisah tegas mana hadiah dan mana risywah (suap).
Sebelum menuduh orang menerima risywah, mesti terjawab dulu pertanyaan: apakah jika seseorang tidak sedang memegang jabatan publik atau strategis dalam pemerintahan dia akan tetap menerima hadiah berupa Toyota Harrier, misalnya?  Jika tidak, tentu ini tindakan risywah (suap) atau gratifikasi menurut KPK.
Imam Ghazali berpendapat dalam kitab Ihya’nya bahwa jika harta tersebut diniatkan karena tujuan akhirat maka disebut shodaqoh. Jika diniatkan dengan tujuan dunia maka ada kalanya berupa harta disebut hibah, dengan catatan, bahwa dia melakukan tersebut karena ingin mendapatkan sesuatu atau ‘udang di balik batu’. Dan ada kalanya berupa amal perbuatan. Jika amal tersebut perbuatan haram atau kewajiban tertentu maka disebut risywah (suap). Dan jika perbuatan jaiz (mubah) maka ijaroh (sewa) atau ju’alah (sayembara) dan adakalanya untuk taqorrub (lebih dekat) kepada yang diberi. Apabila atas dirinya sendiri maka hadiah. Apabila karena kehormatannya ada dua jika penghormatan karena ilmu atau nasab maka juga disebut hadiah. Apabila karena keputusan atau perbuatan (timbal balik) maka disebut risywah. (Raudlatu at-Thalibiin Wa ‘Umdah al-Muftiin, IV, 132).
Suatu pemberian tersebut (hibah) juga mempunyai syarat dan rukun yaitu shighot, aqid dan barang yang diberikan dengan ketentuan-ketentuan seperti akad jual beli.
Dalam literatur klasik tidak ditemukan tentang konsep gratifikasi, yang ada hanyalah  hibah, hadiah, shodaqoh dan suap (yang diasumsikan sebagai risywah). Namun, gratifikasi sendiri pada hakikatnya juga merupakan hibah.
Sedangkan pengertian risywah adalah menyerahkan sejumlah harta kepada seseorang (hakim/selain hakim), agar memberi sebuah keputusan secara tidak benar sesuai dengan kehendak si pemberi demi kepentingan individu, kelompok, maupun golongan lain. Adapun hukum memberikan uang risywah tersebut adalah tidak boleh (haram). (Asna al-Mathallib, XXII, 203, Fatawa as-Subkiy, I, 604-605). Bahkan dalam hadits disebutkan:

لعن الله الراشي والمرتشي في الحكم . رواه ابن حبان وغيره وصححه
Artinya: Allah melaknati orang yang meyuap dan yang disuap yang banyak terjadi pada masalah hukum. (Asna al-Mathallib, XXII, 203)

Walaupun ada pula suap yang diperbolehkan yaitu jika suap tersebut dimaksudkan untuk hal yang baik. Seperti memberi suap agar menghukumi dengan adil. Maka hukum memberi suapnya boleh, tetapi hukum menerima suap tersebut haram. (Hasyiyah al-Jamal, XXIII, 140)
Memang agak sulit menentukan apakah gratifikasi termasuk suap. Dalam keputusan Munas ‘alim ‘ ulama’ NU tahun 2002 sudah dijelaskan  bila terjadi kasus seperti ini. Pada rumusannya disebutkan bahwa boleh memberikan uang kepada orang yang sudah biasa diberi tapi dalam jumlah kecil dan tidak lebih besar (melebihi) apa yang diperbuatnya. Dalam hal hibah atau hadiah yang diberikan oleh orang yang sebelumnya sudah biasa memberi dan jumlahnya pun tidak lebih besar dari biasanya, maka hukumnya mubah (boleh), karena hal tersebut masuk dalam konteks hibah (Keputusan Munas 2002)
Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan hadiah atau uang tambahan kepada pegawai bawahan yang miskin dan keadaannya sangat memprihatinkan, jika hal itu tidak mempengaruhi kerjanya dan tidak berdampak kepada instansi atau lembaga yang mengutusnya, umpamanya dengan memberikan kepadanya sesuatu setelah selesai bekerja dan dia tidak lagi membutuhkan pegawai tersebut.
Maka, sebaiknya dipisahkan antara pemberian hadiah karena pekerjaan dengan pemberian hadiah karena faktor lain, seperti ingin membantunya karena dia miskin atau karena dia sedang sakit dan membutuhkan uang. Walaupun demikian, sebaiknya jika seseorang ingin membantunya hendaknya memberikannya di waktu lain dan pada kesempatan yang berbeda, supaya menjadi lebih jelas bahwa dia memberikan hadiah itu semata-mata faktor kemanusiaan, bukan karena pekerjaannya. Itupun sebaiknya dihindari sebisa mungkin dan janganlah menjadi sebuah kebiasaan, demi menjaga diri kita dari sesuatu yang diharamkan dalam Islam.
Pada akhirnya, ‘menurut pandangan Islam’ kasus itu memang kembali pada pribadi masing-masing, apakah uang itu dimaksudkan sebagai hibah ataukah suap.  Jika bermaksud untuk mempunyai keinginan tertentu, baik kepentingan pribadi (individu), kelompok, maupun orang lain maka bisa juga berubah menjadi risywah (sogok/suap).

C.  Dampak Negatif Gratifikasi atau Suap
Hadiah pegawai (gratifikasi ) ini akan merusak tatanan negara secara keseluruhan dan akan mengganggu kerja pegawai, serta mencabut rasa amanah dari diri mereka. Dampak negatif tersebut bisa dirinci sebagai berikut :
1.   Si pegawai akan lebih cenderung dan lebih senang untuk melayani orang yang memberikan kepadanya hadiah. Sebaliknya dia malas untuk melayani orang-orang yang tidak memberikan kepadanya hadiah, padahal semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proposional, karena pegawai tersebut sudah mendapatkan gaji secara rutin dari perusahaan yang mengirimnya.
2.   Si pegawai ketika mendapatkan hadiah dari salah seorang konsumen, mengakibatkan dia bekerja tidak profesional lagi. Dia merasa tidak mewakili perusahaan yang mengirimnya, tetapi merasa bahwa dia bekerja untuk dirinya sendiri.
3.   Si pegawai ketika bekerja selalu dalam keadaan mengharap-harap hadiah dari konsumen. Hal ini merupakan kebiasaan buruk yang harus dihilangkan, karena Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga harga diri dan menjauhi dari mengharap apa yang ada di tangan orang lain.





BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
1.   Gratifikasi adalah, pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.
2.   Si pegawai akan lebih cenderung dan lebih senang untuk melayani orang yang memberikan kepadanya hadiah. Sebaliknya dia malas untuk melayani orang-orang yang tidak memberikan kepadanya hadiah, padahal semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proposional, karena pegawai tersebut sudah mendapatkan gaji secara rutin dari perusahaan yang mengirimnya.
Si pegawai ketika mendapatkan hadiah dari salah seorang konsumen, mengakibatkan dia bekerja tidak profesional lagi. Dia merasa tidak mewakili perusahaan yang mengirimnya, tetapi merasa bahwa dia bekerja untuk dirinya sendiri.
Si pegawai ketika bekerja selalu dalam keadaan mengharap-harap hadiah dari konsumen. Hal ini merupakan kebiasaan buruk yang harus dihilangkan, karena Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga harga diri dan menjauhi dari mengharap apa yang ada di tangan orang lain.