BAB
I
PENDAHULUAN
Pada beberapa hari terakhir ini, kita mungkin
terus mengelus dada setiap kali membaca, mendengarkan atau menonton berita yang
ditayangkan di berbagai media.
Bagaimana tidak? setiap hari atau
mungkin setiap kali acara berita, selalu muncul berita tentang kasus suap.
Ya, kata-kata suap sekarang memang seakan tidak lagi tabu untuk
diperbincangkan dan didengarkan. Penyebabnya?, tentu saja karena mungkin kasus
ini sudah terlalu sering terjadi di negeri ini, bahkan mungkin sudah merebak dimana-mana,
dalam berbagai jabatan, dan tingkatan.
Maka dari itu mari bersama-sama kita
berantas segala bentuk suap dan korupsi yang merupakan perampasan hak-hak
rakyat. Penyakit ini seakan sudah menjadi suatu akar berbagai persoalan bangsa.
Maka sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mencegah perbuatan ini semakin berkembang dengan cara menghindarkan diri dan generasi muda dari perbuatan-perbuatan
ini.
Rumusan
Masalah :
1. Sebutkan Pengertian Gratifikasi ?
2. Sebutkan Dampak Negatif Gratifikasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gratifikasi
Hadiah Pegawai atau sering disebut dengan Gartifikasi adalah uang hadiah
yang diberikan pada pegawai di luar gaji yang yang telah ditentukan. Di dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penjelasan Pasal 12 B
ayat (1) gratifikasi adalah, pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan
fasilitas lainnya.
Adapun dalam bahasa arab, suap atau sogok dikenal dengan
riswah, yang diartikan sebagai “Apa-apa yang diberikan agar ditunaikan
kepentingannya atau apa-apa yang diberikan unutk membenarkan yang salah atau
menyalahkan yang benar “ (Mu’jamul Wasith).
B. Gratifikasi
Dalam Syari’at Islam
Dalam Syariat Islam,
perkara suap-menyuap ini sangat ditentang dan diancam dengan ancaman yang
mengerikan, Rasulullah Shalallahu Alaihi
Wassallam , beliau bersabda :
لعنة الله على الراشي والمرتشي
“Allah
melaknat orang yang memberi suap, & yang menerima suap” (HR. Ahmad &
selainnya dari Abdullah bin Amr’ Rhadiyallahu ‘anhuma , Dishohihkan Al-Albani
dlm Shohihul Jami’ 5114 & dlm kitab-kitab beliau lainnya)”
Dalam
agama Islam hadiah tidak hanya diperbolehkan, malah merupakan tindakan mulia.
Agama juga menganjurkan untuk memakmurkan sedekah (charity). Namun,
dalam Islam diberi garis pemisah tegas mana hadiah dan mana risywah (suap).
Sebelum
menuduh orang menerima risywah, mesti terjawab dulu pertanyaan: apakah jika seseorang tidak sedang
memegang jabatan publik atau strategis dalam pemerintahan dia akan tetap
menerima hadiah berupa Toyota Harrier, misalnya? Jika tidak, tentu
ini tindakan risywah (suap) atau gratifikasi menurut KPK.
Imam Ghazali berpendapat
dalam kitab Ihya’nya bahwa jika harta tersebut diniatkan karena tujuan akhirat
maka disebut shodaqoh. Jika diniatkan dengan tujuan dunia maka ada kalanya
berupa harta disebut hibah, dengan catatan, bahwa dia melakukan tersebut karena
ingin mendapatkan sesuatu atau ‘udang di balik batu’. Dan ada kalanya berupa
amal perbuatan. Jika amal tersebut perbuatan haram atau kewajiban tertentu maka
disebut risywah (suap). Dan jika perbuatan jaiz (mubah) maka ijaroh (sewa) atau ju’alah (sayembara) dan adakalanya untuk taqorrub (lebih dekat) kepada yang diberi.
Apabila atas dirinya sendiri maka hadiah. Apabila karena kehormatannya ada dua
jika penghormatan karena ilmu atau nasab maka juga disebut hadiah. Apabila
karena keputusan atau perbuatan (timbal balik) maka disebut risywah. (Raudlatu
at-Thalibiin Wa ‘Umdah al-Muftiin, IV, 132).
Suatu pemberian tersebut (hibah) juga mempunyai syarat dan rukun yaitu shighot, aqid dan barang yang diberikan dengan ketentuan-ketentuan seperti akad jual beli.
Dalam literatur klasik tidak ditemukan tentang konsep gratifikasi, yang ada
hanyalah hibah, hadiah, shodaqoh
dan suap (yang diasumsikan sebagai risywah). Namun, gratifikasi sendiri pada
hakikatnya juga merupakan hibah.
Sedangkan pengertian risywah adalah menyerahkan sejumlah harta kepada
seseorang (hakim/selain hakim), agar memberi sebuah
keputusan secara tidak benar sesuai dengan kehendak si pemberi demi kepentingan
individu, kelompok, maupun golongan lain. Adapun hukum memberikan uang risywah
tersebut adalah tidak boleh (haram). (Asna al-Mathallib, XXII, 203, Fatawa as-Subkiy, I, 604-605). Bahkan
dalam hadits disebutkan:
لعن الله الراشي
والمرتشي في الحكم . رواه ابن حبان وغيره وصححه
Artinya: Allah melaknati
orang yang meyuap dan yang disuap yang banyak terjadi pada masalah hukum. (Asna al-Mathallib, XXII, 203)
Walaupun ada pula suap yang diperbolehkan yaitu jika suap tersebut
dimaksudkan untuk hal yang baik. Seperti memberi suap agar menghukumi dengan
adil. Maka hukum memberi suapnya boleh, tetapi hukum menerima suap tersebut haram. (Hasyiyah al-Jamal, XXIII, 140)
Memang agak sulit
menentukan apakah gratifikasi termasuk suap. Dalam keputusan Munas ‘alim ‘
ulama’ NU tahun 2002 sudah dijelaskan bila terjadi kasus seperti ini.
Pada rumusannya disebutkan bahwa boleh
memberikan uang kepada orang yang sudah biasa diberi tapi dalam jumlah kecil
dan tidak lebih besar (melebihi) apa yang diperbuatnya. Dalam hal hibah atau
hadiah yang diberikan oleh orang yang sebelumnya sudah biasa memberi dan
jumlahnya pun tidak lebih besar dari biasanya, maka hukumnya mubah (boleh), karena hal tersebut masuk
dalam konteks hibah (Keputusan Munas 2002)
Sebagian ulama membolehkan untuk memberikan hadiah
atau uang tambahan kepada pegawai bawahan yang miskin dan keadaannya sangat
memprihatinkan, jika hal itu tidak mempengaruhi kerjanya dan tidak berdampak
kepada instansi atau lembaga yang mengutusnya, umpamanya dengan memberikan
kepadanya sesuatu setelah selesai bekerja dan dia tidak lagi membutuhkan
pegawai tersebut.
Maka, sebaiknya dipisahkan antara pemberian hadiah
karena pekerjaan dengan pemberian hadiah karena faktor lain, seperti ingin
membantunya karena dia miskin atau karena dia sedang sakit dan membutuhkan
uang. Walaupun demikian, sebaiknya jika seseorang ingin membantunya hendaknya
memberikannya di waktu lain dan pada kesempatan yang berbeda, supaya menjadi
lebih jelas bahwa dia memberikan hadiah itu semata-mata faktor kemanusiaan,
bukan karena pekerjaannya. Itupun sebaiknya dihindari sebisa mungkin dan
janganlah menjadi sebuah kebiasaan, demi menjaga diri kita dari sesuatu yang
diharamkan dalam Islam.
Pada akhirnya, ‘menurut pandangan Islam’ kasus itu memang kembali pada pribadi masing-masing, apakah uang itu dimaksudkan sebagai hibah ataukah suap. Jika bermaksud untuk mempunyai
keinginan tertentu, baik kepentingan pribadi (individu), kelompok, maupun orang
lain maka bisa juga berubah menjadi risywah (sogok/suap).
C.
Dampak Negatif Gratifikasi atau Suap
Hadiah pegawai (gratifikasi ) ini akan merusak
tatanan negara secara keseluruhan dan akan mengganggu kerja pegawai, serta
mencabut rasa amanah dari diri mereka. Dampak negatif tersebut bisa dirinci
sebagai berikut :
1.
Si pegawai akan lebih cenderung dan
lebih senang untuk melayani orang yang memberikan kepadanya hadiah. Sebaliknya
dia malas untuk melayani orang-orang yang tidak memberikan kepadanya hadiah,
padahal semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan
dari pegawai tersebut secara adil dan proposional, karena pegawai tersebut
sudah mendapatkan gaji secara rutin dari perusahaan yang mengirimnya.
2.
Si pegawai ketika mendapatkan hadiah
dari salah seorang konsumen, mengakibatkan dia bekerja tidak profesional lagi.
Dia merasa tidak mewakili perusahaan yang mengirimnya, tetapi merasa bahwa dia
bekerja untuk dirinya sendiri.
3.
Si pegawai ketika bekerja selalu dalam
keadaan mengharap-harap hadiah dari konsumen. Hal ini merupakan kebiasaan buruk
yang harus dihilangkan, karena Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga
harga diri dan menjauhi dari mengharap apa yang ada di tangan orang lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
1. Gratifikasi adalah, pemberian dalam arti
luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya.
2.
Si pegawai akan lebih cenderung dan
lebih senang untuk melayani orang yang memberikan kepadanya hadiah. Sebaliknya
dia malas untuk melayani orang-orang yang tidak memberikan kepadanya hadiah,
padahal semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan
dari pegawai tersebut secara adil dan proposional, karena pegawai tersebut
sudah mendapatkan gaji secara rutin dari perusahaan yang mengirimnya.
Si pegawai
ketika mendapatkan hadiah dari salah seorang konsumen, mengakibatkan dia
bekerja tidak profesional lagi. Dia merasa tidak mewakili perusahaan yang
mengirimnya, tetapi merasa bahwa dia bekerja untuk dirinya sendiri.
Si
pegawai ketika bekerja selalu dalam keadaan mengharap-harap hadiah dari
konsumen. Hal ini merupakan kebiasaan buruk yang harus dihilangkan, karena
Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjaga harga diri dan menjauhi dari mengharap
apa yang ada di tangan orang lain.