Selasa, 26 Februari 2013

HUKUM ACARA PENGADILAN AGAMA


BAB I
PENGADILAN

A. PENDAHULUAN
Pengadilan Agama merupakan kerangka sistim dan tata hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 14/1970 diperlukan adanya perombakan yang bersifat mendasar terhadap segala perundang-undangan yang mengatur Badan Peradilan Agama tersebut.
Berlakunya UU No. 7/1989, secara konstitusional Pengadilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan yang disebut dalam pasal 24 UUD 1945. Kedudukan dan kewenangannya adalah sebagai Peradilan Negara dan sama derajatnya dengan Peradilan lainnya, mengenai fungsi Peradilan Agama dibina dan diawasi oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, sedangkan menurut pasal 11 (1) UU No. 14/1970 mengenai Organisasi, Administrasi dan Finansiil dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan.
Suasana dan peran Pengadilan Agama pada masa ini tidaklah berbeda dengan masa kemerdekaan atau sebelumnya karena Yurisdiknya tetap kabur baik dibidang perkawinan maupun dibidang waris. Hukum Acara yang berlaku tidaklah menentu masih beraneka ragam dalam bentuk peraturan perundang-undangan bahkan juga hukum acara dalam hukum tidak tertulis yaitu hukum formal Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Pada tahun 1989 lahirlah UU No.7 tahun 1989 yang diberlakukannya tanggal 29 Desember 1989, kelahiran undang-undang tersebut tidaklah mudah sebagaimana yang diharapkan akan tetapi penuh perjuangan dan tantangan dengan lahirnya UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagi tonggak monumen sejarah Pengadilan Agama terhitung tanggal 29 Desember 1989 tersebut.
Lahirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah mempertegas kedudukan dan kekuasaan Peradilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman juga memurnikan fungsi dan susunan organisasinya agar dapat mencapai tingkat sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang sebenarnya tidaklah lumpuh dan semu sebagaimana masa sebelumnya. Disamping itu lahirnya UU tersebut menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama dan tidak lagi berbeda-beda kewenangan dimasing-masing daerah di lingkungan Peradilan Agama. Peradilan Agama baik di Jawa-Madura maupun diluar Jawa-Madura adalah sama kedudukan dan kewenangan baik hukum formil maupun materiilnya. Dengan demikian Peradilan Agama telah sama kedudukannya dengan Peradilan lainnya sebagaimana dalam pasal 10 (1) UU  No.14 Tahun 1970.

B.  PENGERTIAN PENGADILAN
Tugas pengadilan agama bukan sekedar memutus perkara melainkan menyelesaikan sengketa sehingga terwujud pulihnya kedamaian antara pihak-pihak yang bersengketa, tercipta adanya rassa keadilan pada masing-masing pihak yang berperkara, dan terwujud pula tegaknya hukum dan kebenaran pada perkara yang diperiksa dan diputus tersebut. Sebagai Peradilan yang Court of Law mempunyai ciri-ciri antara lain :
1.   Hukum Acara dan Minutasi dilaksanakan dengan baik dan benar.
2.   Tertib dalam melaksanakan administrasi perkara.
3.   Putusan dilaksanakan sendiri oleh Peradilan yang memutus.
4.   Dengan berlakunya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Sesuai dengan pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 adalah : Pengadilan Agama bertugan dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
Perkawinan
,Waris,Wasiat,Hibah, Wakaf,Zakat, Infaq,Shodaqoh,Ekonomi Syariah.
Salah satu kewenangan Pengadilan Agama adalah menyelesaikan sengketa ekonomi Syari’ah. Berdasarkan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa : “ pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama antara orang-orang yang beragam Islam.
Berdasarkan ketentuan pasal 49 tersebut Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sodaqah, dan ekonomi syari’ah. Oleh sebab itu, terhituing mulai tanggal 20 Maret 2006 penyelesaian perkara ekonomi syariah menjadi kewenangan absolute Pengadilan Agama.
Dengan berpegang pada asas-asas proses penyelesaian perkara yang baik (A2 P3 B), hakim memeriksa perkara dengan perpedoman pada hukum acara perdata yang ada dengan sedikit penyesuaian dengan karakteristik sengketa ekonomi syari`ah. Proses peradilannya dilakukan sesuai tata cara dalam hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan agama.
Proses penyelesaian perkara ekonomi syari`ah dilakukan hakim dengan tata cara urutan sebagai berikut :
1.   Hakim memeriksa apakah syarat administrasi perkara telah tercukupi atau belum. Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang di dalamnya telah ada panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera siding. Apabila syarat tersebut belum lengkap maka berkas dikembalikan ke kepaniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS).
2.   Hakim memeriksa syarat formil perkara yang meliputi kompetensi and kecakapan penggugat, kompetensi Pengadilan Agama baik secara absolute maupun relative, ketepatan penggugat menentukan tergugat, surat gugatan tidak obscuur, perkara yang akan diperiksa belum pernah diputusoleh pengadilan dengan putusan yang sudah berkekuatan hokum tetap, tidak terlalu dini, tidak terlambat dan tidak dilarang oleh Undang undang untuk diperiksa dan diadili oleh Undang –undang. Apabila ternyata para pihak telahterikat dengan perjanjian arbitrase maka pengadilan agama tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya ( pasal 3 UU No.30 Tahun 1999 ).
3.   Apabila syarat formil telah dipenuhi maka hakim dapat melanjutkan pemeriksaan pokok perkara. Dalam sidang ini tugas utama hakim adalah mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan PERMA No.2 Tahun 2003 dan PERMA No.1 Tahun 2002. Apabila tercapai perdamaian maka dibuat akta perdamaian, bila tidak dilanjutkan ke tahap berikutnya.
4.   Hakim melakukan konstatiring terhadap dalil dalil gugat dan bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik dan pembuktian.
5.   Hakim melakukan kualifisiring melalui kesimpulan para pihak dan musyawarah hakim.
6.   Hakim melakukan konstituiring yang dituangkan dalam surat putusan.

C.  KENDALA-KENDALA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI`AH MELALUI PENGADILAN AGAMA
1.   Dalam rangka memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat harus dapat menyelesaikan kendala-kendala yang terjadi dalam Praktik peradilan penyelesaian sengketa ekonomi syari`ah, antara lain:
Belum adanya perangkat hokum yang memadai sebagai acuan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari`ah dalan pengadilan agama.
2.   Penerapan asas siding terbuka untuk umum dalam penyelesaian sengketa.
3.   Penerapan hokum materiil dan hokum acara yang terlalu formal dan kaku.
4.   Tidak adanya komunikasi timbal balik yang harmonis dan fleksibel antara hakim dengan para pihak dan diantara para pihak tidak adanya sistem negosiasi dan konsiliasi dalam proses penyelesaian sengketa.
5.    Sikap, pandangan dan pendapat para advokat yang mendampingi kliennya belum tentu sejalan dengan sikap,pandangan dan pendapat pengadilan agama dalam pembaharuan paradigma peradilan yang modern, mandiri dan professional.
BAB II
GUGATAN

A. PENGERTIAN
Gugatan adalah suatu surat yang di ajukan oleh penguasa pada ketua pengadilan agama yang erwenag, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.
Permohonan adalah suatu surat permohonan yang didalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.
Jadi perbedaan dari gugatan dan permohonan adalah bahwa permohona itu tuntutan hak perdata yang didalam kepentingannya itu bukan suatu perkara sedangkan gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat terhadap tergugat yang menuntut tuntutan hak yang yang didalamnya berisi suatu perkara. Alam gugatan inilah yang disebut dengan pengadilan yang sesungguhnya dan produk hokum yang dihasilkan adalah putusan hokum.Perbedaan Perkara voluntair Dan Contentieus Sebelum saya membahas apa itu perkara voluntair dan contentious saya akan menjelaskan apa itu yang disebut voluntair dan contentious.
1.   Voluntair juga disebut juga dengan permohonan, yaitu permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang ditunjukan kepada ketua pengadilan. Permohonan ini merupakan kepentingan sepihak dari pemohon yang tidak mengandung sengketa dengan pihak lain. Ciri dari voluntair ini diantaranya:
Masalah yang diajukan berisi kepentingan sepihak
.
2.   Permasalah yang diselesaikan di pengadilan biasanya tidak mengandung sengketa.
3.   Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang dijadikan lawan
Sedangkan contentious adalah perdata yang mengandung sengketa diantara pihak yang berpekara yang pemeriksaan penyelesaiannya diajukan dan diajukan kepada pengadilan, dimana pihak yang mengajukan gugatan disebut dan bertindak sebagia tergugat. Ciri – ciri dari contentieus ini diantaranya:
a)   Ada pihak yang bertindak sebagai penggugat dan tergugat.
b)   Pokok permasalahan hokum yang diajukan mengandung sengketa diantara para pihak.
Perbedaan Antara Voluntair dan Contentieus
1.   Contentieus
a)   Para pihak terdiri dari penggugat dan tergugat.
b)   Aktifitas hakim yang memeriksa hanya terbatas pada apa yang diperkerakan untuk diputuskan.
c)   Hakim hanya memperhatikan dan menerapkan apa yang telah di tentukan undang-undang dan tidak berada dalam tekanan atau pengaruh siapapun.
d)  Kekuatan mengikat, keputusan hakim hanya mempunyai kekuaan men gikat kepada para pihak yang bersengketa dan keterangan saksi yang diperiksa atau didengarkan keterangannya.
2.   Voluntair
a)   Pihak yang mengajukan hanya terdiri dari satu pihak saja.
b)   Aktifitas hakim lebih dari apa yang dimihinkan oleh pihak yang bermohon karena hanya bersifat administrative.
c)   Hakim mempunyai kebebasan atau kebijaksanaan untuk mengatur sesuatu hal.
d)  Keputusan hakim mengikat terhadap semua orang.

Setelah kita membicarakan perbedaan antara voluntair dan contetieus maka selanjutnya saya akan menjelaskan tatacara bagaimana mengajukan gugatan atau permohonan. Tahapan –tahapan tersebut yaitu:
1.   Tahap Persiapan
Sebelum mengajukan permohonan atau gugatan ke pengadilan perlu diperhatika hal-hal sebagai berikut:
a.    Pihak yang berpekara setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat menjadi pihak dalam berpekara di pengadilan.
b.   Kuasa: Pihak yang berpekara di pengadilan dapat menghadapi dan menghadiri pemeriksaan persidangan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain untuk menghadiri persidangan di pengadilan.
c.    Kewenangan pengadilan: kewenangan relative dan kewenangan absolut harus diperhatikan sebelum membuat permomohan atau gugatan yang di ajukan ke pengadilan.
2.   Tahap pembuatan permohonan atau gugatan
permohonan atau gugatan pada prinsipnya secara tertulis (pasal 18 HIR) namun para pihak tidak bisa baca tulis (buta huruf) permohonan atau gugatan dapat dilimpahkan kepada hakim untuk disusun permohonan gugatan keudian dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya kepada pihak kemudian ditandatangani olehketua pengadilan agama hakim yang ditunjuk berdasarkan pasal 120 HIR.
Membuat permohonan pada dasarnya, identitas pemohon, urain kejadian. Permohonan isi gugatan secara garis besar memuat hal-hal sebagai berikut:
Mengenai isi gugatan atau permohonan UU. NO 7 Tahun 1989 maupun dalam HIR atau Rbg tidak mengatur, karena itu diambil dari ketentuan pasal 8 NO. 3 RV yang mengatakan bahwa isi gugatan pada pokoknya memuat tiga hal yaitu:
a.    Identitas para pihak: Identitas para phak meliputi nama, umur, pekerjaan, agama, kewarganegaraan.
b.   Posita: Berisi uraian kejadian atau fakta-fakta yang menjadi dasar adanya sengketa yang terjadi dan hubungan hokum yang menjadi dasar gugtan.
c.    Petitium: Petitium atau tuntutan berisi rincian apa saja yag diminta dan diharapkan penggugat untuk dinyatakan dalam putusan atau penetapan para kepada para pih.ak terutama pihak tergughat dalam putusan perkara
3.   Tahap pendaftaran pemohon atau gugatan
Setelah permohonan atau gugatan dibuat kemudian didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agam yang berwenang memeriksa dengan membayar biaya panjar perkara. Dengan membayar biaya panjar perkara maka penggugat atau pemohon mendapatkan nomor perkara dan tinggal menunggu panggilan siding.
Perkara yang telah terdaftar di pengadilan agama oleh panitera diampaikan kepada ketua pengadilan agama untuk dapat menunjuk majelis hakim yang memeriksa, memutus, dan mengadili perkara dengan suatu penetapan ya g disebut penetapan majelis hokum (PMH) yang terdiri satu orang hakim sebagai ketua majelis dan dua orang hakim sebagai hakim anggota serta panitera siding. Apabila belum ditetapkan panitera yang ditunjuk, majelis hakim dapat menunjuk panitera siding sendiri.
4.   Tahap pemeriksaan permohonan atau gugatan
Pada hari sidang telah ditentukan apabila satu pihak atai kedua belah pihak tidak hadir maka persidangan ditunda dan menetapkan hari sidang berikutnya kepada yang hadir diperintahkan menghadiri sidang berikutnya tanpa dipanggil dan yang tidak hadir dilakukan pemanggilan sekali lagi.
Dalam praktek pemanggilan pihak yang tidak hadir dilakukan maksimal tiga kali apabila: penggugat tidak hadir maka gugatan gugur
a.    Tergugat tidak hadir maka pemeriksaan dilanjutkan dengan putusan verstek atau putusan tanpa hadirnya pihak tergugat.
b.   Apabial terdapat beberapa tergugat yang hadir ada yang tidak hadir, pemeriksaan tetap dilakukan dan kepada yang tidak hadir dianggap tidak menggunakan haknya untuk membela diri.
c.    Penggugat dan tergugat hadir, maka Pemeriksaan dilanjutkan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Dalam pemeriksaan perkara pengadilan akan disampaikan dalam ilustrasi berikut ini :
a)   Apabila penggugat dan tergugat hadir maka mula-mula majelis hakim memasuki ruang persidangan diikuti panitera sidang. Majelis memanggil para pihak untuk masuk ke persidangan dan ketua membuka persidangan dengan menyatakan “sidang dibuka dan terbuka untuk umum (apabila sidang terbuka untuk umum) dan jika sidang dibuka dan tertutup untuk umum (apabila sidang terbuka itu tertutup untuk umum).
b)   Hakim menanyakan identitas para pihak baik pihak penggugat atau tergugat.
c)   Hakim mengupayakan perdamaian pada para pihak dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berdamai dan menetapkan hari sidang berikutnya tanpa dipanggil.
d)  Apabila kedua belah pihak berdamai, maka dibuat akta perdamaian yang kekuatan hukumnya samutusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga dapat dilaksanakan esekusi.
e)   Apabila tidak tercapai perdamaian maka dinyatakan kepada penggugat ada perubahan gugatan atau tidak, kalau ada maka persidangan ditunda pada persidangan berikutnya untuk perubahan atau perbaikan gugatan dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang hadir dalam sidang berikutnya untuk hadir tanpa di panggil.
f)    Apabila tidak ada perubahan atau sudah ada perubahan gugatan, maka sidang dilanjutkan dengan pembacaan gugatan. Setelah pembacaan gugatan hakim memberikan kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan pertanyaan, kemudian sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada tergugat menyususn jawaban dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang hadir untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa pengadilan.
g)   Dalam sidang selanjutnya jawaban dibacakan dan penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan replik, kemudian sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada penggugat menyusun replik dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
h)   Sidang selanjtnya replik dibacakan tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan duplik, kemudian tergugat diberi kesempatan untuk menyususn duplik dengan menetapkan hari sidang berikutnya dan memerintahkan utuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
i)     Sidang selanjutnya duplik dibacakan kemudian pihak penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti untuk memperkuat dalil-dalil gugatannya, kemudian sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada penggugat menyampaikan bukti-bukti dengan menetapkan hari sidang berikutnya dan memerintahkan yang hadir untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
j)     Sidang selanjutnya setelah penggugat mengajukan bukti-bukti tergugat di beri kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti untuk menguatkan dalil-dalail sanggahannya, kemudian sidang ditunda untuk memebri kesempatan kepada tergugatuntuk pembuktian.
k)   Sidang selanjutnya setelah pembuktian tergugat selesai kemudian sidang ditunda untiuk memberi kesempatan kepada penggugat dan tergugat menyususn kesimpulan.
l)     Sidang selanjtnya penggugat dan tergugat menyampaikan kesimpulan, kemudian sidang ditunda untuk musyawarah hakim untuk menjatuhkan putusan.
m) Dalam sidang selanjutnya, putusan dibacakan oleh ketua majelis hakim dan kepada pihak yang tidak puas dapat mengajukan upaya hukum banding.










BAB III
PERSIDANGAN

A. PENGERTIAN
Persidangan adalah sebuah media atau tempat untuk merumuskan suatu permasalahan yang muncul dalam suatu komunitas yang didalamnya mutlak terdapat beberapa perbedaan faham dan kepentingan yang dimilikinya. Persidangan juga dibuat dalam rangka merumuskan hal-hal yang menjadi kebutuhan sebuah kelompok/organisasi dalam menjalankan tata kerja organisasi tersebut. Persidangan itu sendiri dibuat melalui mekanisme-mekanisme yang telah dibuat sebelumnya.
Mekanisme yang ada didalam persidangan ini berfungsi untuk menjaga keteraturan setiap elemen yang ada didalam sidang tersebut agar persidangan dapat berjalan lancar secara harmonis dan kondusif.
Demi kelancaran sebuah persidangan, hendaknya didukung oleh beberapa perangkat-perangkat yang ada didalamnya, diantaranya adalah :
1.   Pimpinan siding adalah Pimpinan sidang adalah orang-orang yang telah ditunjuk sebelumnya oleh peserta sidang yang mempunyai tugas untuk mengarahkan sidang dan ,menetapkan hasil keputusan yang telah disepakati oleh seluruh peserta sidang. Pimpinan sidang biasanya terdiri dari 3 (tiga) orang, yakni pimpinan sidang ketua; pimpinan sidang sekretaris (notulen) yang bertugas untuk mencatat segala ketetapan yang telah disepakati dalam persidangan untuk kemudian diarsipkan; dan pimpinan sidang anggota yang mendampingi kedua pimpinan sidang ketua dan pimpinan sidang sekretaris.
2.   Materi sidang adalah materi/konsep permasalahan yang akan dibahas didalam persidangan. Materi ini merupakan rangkuman dari beberapa pokok-pokok permasalahan yang ada dalam tubuh organisasi tersebut.
3.   Peserta sidang adalah peserta yang mengikuti proses persidangan yang merupakan anggota dari organisasi tersebut. Peserta sidang ini nantinya merupakan penentu setiap kebijakan/keputusan dari permasalahan yang dibahas dalam persidangan.
Perangkat pendukung lainnya adalah palu siding, alat tulis menulis dan pengeras suara. Adapun beberapa jenis ketukan palu sidang yang dilakukan oleh pimpinan sidang ketua yakni : ketukan palu 1 kali, dilakukan untuk menyepakati keputusan forum. ketukan palu 2 kali, dilakukan untuk menskorsing/pending siding. ketukan palu 3 kali, dilakukan untuk menetapkan hasil keputusan forum (konsideran) dari tiap agenda sidang.

B.  RUANG SIDANG
Sehubungan dangan tata ruang persidangan di lingkungan Peradilan Agama, ada kajian ulama yang dijadikan bahan pemikiran untuk mewujudkan tata ruang sidang yang ideal, sebagaimana yang disebutkan dalam kitap Qulyuby wa ‘Umairah Juz IV halaman 302:
(وَيُسْتَحَبُّ كَزنُ مَجْلِسُهُ فَسِيْحَا) اَىْ وَاسِعَا لِعَلاَّ يَتَآذَّى بِضَيِّقَةِ اَلْحَاضِرُونَ (بَارِزَا ) اى ظَاهِرَا لِيَعْرِفُهُ مَنْ يَرَاهُ (مصونامن اذى حر وبرد) وريح وطهارو دخنان (لائقا باالوق ت) من صيف وشتاء.
(وقضاء) بان يكون دارا (لامسجدا) فيكره اتخاذه مجلسا للحكم فى الا صح صونا له عن ارتفاع الاصوات واللفظا الواقعين بمجلس القضاء عادة
Keadaan ruang sidang diutamakan harus luas, agar pihak-pihak yang hadir dalam persidangan tidak merasa sempit, disamping itu harus menonjol agar diketahui oleh orang-orang yang akan menyaksikan jalannya persidangan, dan juga harus terlingdung dari gangguan yang disebabkan oleh panas, dingin, kotoran dan sebagainya sesuai dengan keadaan musim yang sedang terjadi.
Dan ruang sidang hendaknnya berupa bangunan tersendiri, bukan mesjid. Berdasarkan pendapat yang kuat, hukumnya makruh apabila mesjid digunakan untuk bersidang memutuskan perkara, hal ini untuk menjaga mesjid dari suara-suara keras dan sorak sorai yang biasanya terjadi diruang sidang. Walaupun para Hakim pada waktu hadir dimesjid untuk menjalankan solat bermusyawarah tentang suatu putusan hukum.
Ruang sidang Pengadilan harus diatur sedemikian rupa agar mencerminkan kewibawaan Pengadilan. Ruang sidang utama harus lebih diperhatikan, karena rang sidang tersebut sebagai tempat pemeriksaan pekara-perkara yang menarik perhatian masyarakat serta digunakan sebagai tempat upacara resmi.
Dalam praktiknya, luas ruang sidang yang ada dilingkungan Pengadilan Agama tidak ada keseragaman. Luas ruang sidang ada biasana tergantung pada kondisi Pengadilan itu sendiri, misalnya luas tanah atau kondisi bangunan yang sudah ada. Untuk meningkatkan wibawa pengadilan, maka diharapkan untuk kedepan ada aturan standarisasi ruang sidang.Adapun perlengkapan yang harus ada dalam ruang sidang sebagai berikut:
a.    Meja sidang,
Meja sidang disebut juga meja hijau, karena meja tersebut ditutup dengan kain warna hijau. Meja sidang mempunyai bentuk dan ukuran tertentu.
b.   Kursi untuk Ketua majelis,
Hakim Anggota, dan Panitera Pengganti.
c.    Lambang Negara Garuda, terletak di dinding sebelah atas belakang meja sidang.
d.   Bendera Merah Putih disebelah kanan meja sidang.
e.    Kursi untuk tempat penggugat, tergugat dan saksi-saksi, terletak didepan meja sidang.
f.    Palu di atas meja sidang dihadapan kursi Ketua Majelis.
g.   Al-Qur’an.

C.  SUSUNAN PERSIDANGAN
Pada asasnya pengadilan bersidang sekurang-kurangnya tiga orang hakim, kecuali apabila undang-undang menentukan lain. Di antara Hakim tersebut, seorang bertindak sebagai Ketua dan lainnya sebagai Hakim Anggota. Dalam hal tertentu pemeriksaan dapat dikasanakan dengan hakim tunggal setelah terlebih dahulu mendapat izin dari Mahkamah Agung.
Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 22 tahun 1969, susunan persidang perkara perdata maupun pidana adalah Panitera sidang paling kiri, berurut kekanan adalah Ketua Majelis, Hakim Anggota yang lebih senior dan Hakim Anggota yang lebih junior. Ukuran senioritas yang dijadikan pedoman adalah senioritas dalam jabatan hakim.
Menurut undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana susunan persidangan adalah Ketua Majelis ditengah, Hakim anggota berada disebekah kiri dan kanannya, sedangkan Panitera berada diantara Ketua Majelis dan Hakim Anggota (sebelah kiri ketua) agak mundur kebelakang dengan menggunakan meja sendiri.
Dalam praktik, susunan persidangan menurut Hukum Acara Pidana tersebut dugunakan untuk persidang perkara perdata dilingkungan Peradilan Umum maupun lingkungan Peradilan Agama. Namun, penerapan susunan persidangan tersebut dilingkungan peradilan Agama masih belum sepenuhnya, karena tempat duduk Panitera/Panitera pengganti masih sejajar dengan Majelis Hakim yaitu menghadap meja sidang, sehingga terkesan bahwa Majelis Hakim yang bersidang berjumlah 4 (empat) orang. Oleh karena itu keberadaan aturan yang mengatur tentang susunan persidangan perkara perdata dalam hukum acara perdata sangat diperlukan.
Tugas Hakim Anggota selain yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undang juga diberi tugas berkaitan dengan persidang, yaitu Hakim Anggota yang senior mencatat segala hal dan peristiwa untuk kepentingan menyusun putusan, sedangkan Hakim Anggota yang junior mencatat segala hal dan peristiwa untuk penyusunan berita acara persidangan. Tugas-tugas tersebut dilakukan bersama Panitera Pengganti.
Pakaian Majelis Hakim Pengadilan Agama memakai toga dan berkopiah hitam bagi hakim pria, hakim wanita memakai toga dan berjilbab, sedangkan Panitera Pengganti yang ikut sidang memakai jas warna hitam, untuk Panitera Pengganti wanita memakai jas warna hitam dan berjilbab.

D. PROTOKOLER PERSIDANGAN
Protokoler persidangan sebelum sidang dilangsungkan dilaksanakan oleh seorang petugas khusus yang ditunjukkan untuk melakukan tugas-tugas tersebut. Sedangkan protokoler persidangan pada sidang berlangsung dilaksanakan oleh Majelis Hakim.
Dalam hukum acara perdata tidak ditemukan ketentuan yang mengatur tentang protokoler persidangan. Protokoler persidangan orang dewasa yang terbuka untuk umum diatur dalam hukum acara pidana.
Dalam praktik di Peradilam Agama, protokoler persidangan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.    Sidang Pengadilan Agama dimulai pukul 09.00 waktu setempat, kecuali sebelumnya ditentukan atau karena keadaan luar biasa.
b.   Majelis Hakim dan Panitera Pengganti siap memasuki ruang sidang.
c.    Petugas Protokoler memberitahu kepada hadirin bahwa sidang segera dimulai, Majelis Hakim memasuki ruang sidang.
d.   Majelis Hakim memasuki ruang sidang dan duduk di posisi yang telah ditentukan, demikian pula Panitera Pengganti.
e.    Tugas Protokoler selanjutnya menjadi tugan Majelis Hakim.
f.    Ketua Majelis Hakim membuka sidang dengan kalimat,“pada hari ini......tanggal.....Pengadilam Agama......yang memeriksa perkara perdata, dinyatakan di buka dan terbuka untuk umum, dengan menbaca Bismillahirrahmanirrahim” diikuti ketukan palu tiga kali.
g.   Sidang ditutup, diikuti ketukan palu tiga kali.











BAB IV
PENYITAAN

A. PENGERTIAN
Prosedur penyitaan di dalam KUHAP erat hubungannya dengan pembuktian, oleh sebab itu harus ada pembatasan dan aturan yang tegas supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan dari penegak hukum sehingga tidak terjadi rekayasa alat bukti yang dapat merugikan tersangka. Karena tidak semua orang yang dipenjara adalah orang yang bersalah dan tidak semua orang yang tidak dipenjara adalah orang yang tidak bersalah.
Pengertian Penyitaan dalam KUHAP Pasal 1 Butir 16 ialah “Penyitaan adalah serangkaian tindakan untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”
Oleh sebab itu penyitaan guna kepentingan Acara Pidana dilakukan dengan cara yang diatur oleh Undang- undang, antara lain harus ada izin Ketua Pengadilan Negeri setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Akan tetapi dalam keadaan sangat perlu dan mendesak apabila penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin meminta izin Ketua Pengadilan terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda yang bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan setempat guna mendapatkan persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2), ditafsirkan menurut pendapat penulis, apabila tidak disetujui Ketua Pengadilan Penyitaan harus dibatalkan.
Benda yang dapat disita sebagaimana ketentuan Pasal 39 ayat (1) butir a KUHAP, adalah ‘’benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau dari hasil dari tindak pidana.” Benda-benda lain yang dapat disita, ialah sebagai berikut:
1.   Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan delik atau untuk mempersiapkan, diatur dalam Pasal 9 ayat 1 butir b KUHAP.
2.   Benda yang dipergunakan untuk menghalangi- halangi Penyidik Delik (tindak Pidana) diatur dalam Pasal 39 ayat 1 Butir c KUHAP.
3.   Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan delik pasal diatur dalam Pasal 39  ayat 1 butir d KUHAP.
4.   Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan delik yang dilakukan, diatur dalam Pasal 39 ayat 1 butir e KUHAP.
Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit, dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, apabila dipenuhi persyaratan butir 1 sampai 5 di atas, diatur dalam pasal 39 ayat (2) KUHAP.
Tindak pidana yang tertangkap tangan diberlakukan penyitaan, diatur dalam pasal 40 KUHAP “dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda atau alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.” Selain itu diatur dalam Pasal 41 KUHAP, “dalam hal tertangkap tangan, penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi atau pengangkutan sepanjang paket, surat atau benda tersebut, diperuntukan bagi tersangka atau yang berasal dari padanya,  dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawaban atau perusahaan telekomunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan tanda penerimaan.”
Dalam pasal 43 KUHAP diatur “penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali undang-undang menentukan lain.” 
Mengenai penyimpanan benda sitaan di dalam  rumah penyimpanan benda sitaan negara, diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan selama belum ada  rumah penyimpanan benda sitaan negara dapat dilakukan penyimpanan pada Kantor Kepolisian Negara RI, kantor Kejaksaan Negeri, gedung bank pemeritah dan dalam keadaan memaksa di dalam tempat penyitaan lain atau tetap di tempat semula benda itu disita. Kemudian diatur tentang pemeliharaan dan penyelesaian benda-benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan atau biaya penyimpanan terlalu tinggi, maka benda-benda semacam itu jika masih di tangan penyidik  atau penuntut umum, dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya. Apabila sudah di tangan pengadilan, dapat dilakukan hal yang sama oleh penuntut umum dengan izin hakim yang menyidangkan perkara tersebut, diatur dalam Pasal 45 ayat 3 KUHAP.
Mengenai benda sitaan yang bersifat terlarang seperti narkotika, disediakan untuk dirampas untuk negara atau dimusnakan, diatur dalam pasal 45 ayat 4 KUHAP. Penyitaan dapat berakhir berdasarkan Hukum Acara Pidana:
1.   Penyitaan dapat berakhir sebelum ada putusan hakim.
a.    kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi.
b.   perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti, atau tidak merupakan delik.
c.    perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali benda tersebut diperoleh dari suatu delik atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu delik.
2.   Penyitaan berakhir setelah ada putusan hakim, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau mereka yang disebut dalam keputusan tersebut, kecuali kalau benda tersebut menurut putusan hakim dirampas untuk negara, untuk dimusnakan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi, atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti untuk perkara, diatur dalam Pasal 46 ayat (2) KUHAP. Demikianlah prosedur penyitaan menurut kitab Undang- undan Hukum Acara Pidana. Selain itu diatur pula penyitaan bersifat khusus, antara lain :
a.    undang-undang tindak pidana ekonomi.
b.   undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
c.    undang- undang lalu lintas devisa.
BAB V
PEMBUKTIAN

A. PENGERTIAN
Ada berbagai macam definisi tentang pembuktian, yaitu menurut  M. Yahya Harahap arti pembuktian terbagi menjadi dua, arti pembuktian secara luas dan arti pembuktian secara sempit. Arti pembuktian secara luas adalah kemampuan pengugat atau tergugat dalam memanfaatkan hukum pembuktian utuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dengan kejadian-kejadian yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan arti pembuktian secara sempit adalah pembukian digunakan hanya sepanjang masih ada hal-hal yang dibantah atau hal-hal yang masih disengketakan ataupun sepanjang masih adanya hal-hal yang diperselisihkan antara pihak-pihakl yang beperkara.
R. Subekti menuturkan bahwa pembuktian adalah suatu upaya dari para pihak yang beperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.
Henny Mono, S.H. menjelaskan bahwa pembuktian itu adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pihakyang beperkara dalam suatu sengketa perdata. Dalam hal pembuktian bertujuan majelis hakim menetapkan hukum di antara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai keadilan. Sesuai dengan pasal 163 HIR/283 RGB/ 1865 KUH Perdata yang berbunyi “ setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”
Dari uarian-uaraian para pakar hukum di atas, maka pembuktian adalah upaya para pihak yang bersengketa untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang di ajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Dalam segi tujuannya pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim. Akan tetapt kebenaran yang di maksud dalam hukum perdata dan pidana memiliki perbedaan dalam segi materiil dan formilnya. Dalam hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formil. Sedangkan dalam hukum pidana, hakim mencari kebenaran dalam segi materiil. Kebenaran formil yang dicari oleh hakim dalam artian bahwa hakim tidak diperkenankan melampaui batas-batas yang di ajukan oleh pihak yang beperkara. Maka, baik kebenaran formil maupun kebenaran materiil hendaknya seorang hakim mencarinya secara bersamaan dalam pemeriksaan suatu perkara yang diajukan kepada hakim.

B.  TEORI PEMBUKTIAN
Untuk landasan pembuktian Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H mengemukakan tentang teori-teori dalam proses pembuktian di pengadilan. Yaitu :
1.   Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka ( bloot offirmatief ).
Teori ini menjelaskan bahwa siapa yang mnegemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan mengingkarinya atau menyangkalnya.
2.   Teori hukum subyektif.
Teori ini adalah suatu proses perdata yang merupakan pelaksanaan hukum subyektif, atau bertujuan untuk mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan ataupun mengaku mempunyai hak yang harus dibuktikan.
3.   Teori hukum obyektif.
Teori ini, mengajukan tuntuan hak atau gugatan bahwa sanya penggugat meminta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang diajukan. Maka dari pada itu penggugat harus membuktikan kebenaran dari pada peristiwa yang diajukannya dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa tersebut.
4.   Teori hukum publik.
Teori ini ialah mencari suatu kebenaran peristiwa di dalam peradilan yang merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus memiliki wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran.
5.   Teori hukum acara.
Menurut teori ini hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak yang berdasarkan asas prosesuil. Yang sama dari para pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut.

C.  BEBAN PEMBUKTIAN
Sesuai dengan pasal 163 HIR/283 RGB/ 1865 KUH Perdata, maka pihak yang harus membuktikan atau yang dibebani beban pembuktian adalah pihak yang berkepentingan di dalam suatu perkara, terutama penggugat yang mengemukakan dalil-dalil dalam penggugatannya. Sedangkan bagi pihak tergugat berkewajiban mengajukan bukti-bukti sebagai alat bantahnnya. Namun apabila bagi pihak pengguat tidak mampu ataupun tidak dapat menunjukkan bukti atas peristiwa atau kejadian yang diajukannya, maka pihak ini harus di kalahkan. Begitu pula bagi pihak tergugat apabila tidak dapat atau tidak mampu menunjukkan bukti atas bantahannya maka ia harus pula di kalahkan oleh hakim berdasarkan bukti-bukti yang sudah ada.
Maka daripada itu pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada pihak yang berperkara baik penggugat maupun yang tergugat. Bukan hakim yang memikul beban tersebut karena hakim hanyalah bertugas untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Dengan demikian, para pihak yang berperkaralah yang wajib membuktikan segala peristiwa, kejadian, atau fakta yang di sengketakan denagn mengajukan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

D. HAL-HAL YANG PERLU DI BUKTIKAN
Pembuktian memegang peranan penting dalam pemeriksaan perkara dalam persidangan dipengadilan. Sesuai dengan tujuan pembuktian yaitu untuk memberikan kepastian pada hakim tentang adanya peristiwa tertentu, maka yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh pihak-pihak dalam hal sesuatu yang belum jelas atau yang menjadi persengketaan.
Peristiwa-peristiwa yang harus dibuktikan dimuka sidang pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sebgai berikut :
1.   Peristiwa atau kejadian tersebut harus merupakan peristiwa atau kejadian yang di sengketakan sebab pembuktian tersebut menjadi cara dalam menyelesaikan persengketaan.
2.   Peristiwa atau kejadian tersebut harus dapat di ukur, terikat dengan ruang dan waktu.
3.   Peristiwa atau kejadian tersebut harus berkaitan dengan hak yang di sengketakan, karena pembuktian itu tidak mengenai hak yang di sengketakan.
4.   Peristiwa atau kejadian itu efektif untuk di buktikan. Dalam artian peristiwa atau kejadian tersebut menjadi salah satu rangkaian peristiwa atau kejadian.
5.   Peristiwa atau kejadian tersebut tidak di larang oleh hukum dan kesusilaan.
Hal-hal yang telah disebutkan diatas, yang mana telah menjadi hal-hal yang perlu di buktikan itu sesuai dengan pasal 163 HIR/pasal 283 RBG/pasal 1685 KUH Perdata.

E.  HAL-HAL YANG TIDAK PERLU DI BUKTIKAN
Dalam hal-hal yang tidak perlu dibuktikan dimuka pengadilan adalah sebagai berikut :
1)   Peristiwa yang di anggap tidak perlu diketahui oleh hakim atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, misalnya :
a)   Dalam putusan verstek.
Adalah keputusan yang diambil oleh hakim dikarenakan ketidak hadirannya pihak tergugat setelah dipanggil secara patut. maka segala peristiwa yang di dalilkan oleh penggugat harus dianggap benar.
2)   Dalam hal mengakui gugatan penggugat.
Dalam hal ini hakim tidak perlu mendapat pembuktian jika tergugat mengakui dan membenarkan gugatan dari penggugat.
3)   Telah dilaksanakan sumpah decissoir
Sumpah decissoir adalah sumpah yang menetukan dan telah dilaksanakan oleh salah satu pihak yang berperkara, maka pembuktian selanjutnnya tidak diperlukan lagi.
4)   Dalam hal tergugat reperte
Dalam hal ini pihak tergugat tidak mengakui dan tidak pula membenarkan gugatan penggugat, maka segala gugatan penggugat secara sepenuhnnya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian hal seperti ini tidak perlu diadakan pembuktian lagi.
5)   Hakim secara ex officio dianggap telah mengetahui atau mengenal peristiwanya. Misalnya :
a)   Peristiwa otDir feiten.
Peristiwa ini bisa juga disebut dan dianggap sebagai pengetahuan umum. Maka apa-apa yang telah diketahui oleh masyarakat maupun hakim secara umum, tidak perlu di buktikan lagi.
b)   Pengetahuan hakim sendiri.
Dalam hal ini pengetahuan hakim digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara kedua belah pihak. Namun ketentuan ini bisa dianggap sebagai peristiwa notoir feiten, yang mana pengetahuan hakim berdasarkan hukum alam. Akan tetapi ketentuan ini tidak selamanya demikian, karena pada hal ini hakim bersandar pada hipotesis ilmu pengtahuan atau adat yang berlaku pada daerah setempat.
c)   Pernyataan yang bersifat negatif.
Suatu peristiwa yang bersifat negatif, pada umumnya tidak mungkin untuk di buktikan. sebagaimana dalam putusan mahkamah agung Nomor 547 K/Sip/1971 tanggal 15 maret 1972, yang isinya bahwa pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu yang negatif adalah lebih berat dari beban pembuktian pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif.
F.   ALAT-ALAT BUKTI, DASAR HUKUM, DAN KEKUATANNYA
Dalam ilmu hukum acara perdata, Drs. Hari Sasangka, S.H., M.H., menjelaskan bahwa untuk membuktikan suatu dalil tentang hak dan kewajiban dalam sengketa di pengadilan sudah datur dalam pasal 164 HIR/284 RBG/ 1866 KUH Perdata, yaitu :
1.   Alat bukti Surat / tertulis,
2.   Alat bukti saksi,
3.   Alat bukti persangkaan,
4.   Alat bukti pengakuan,
5.   Alat bukti sumpah.
Selain yang telah disebutkan diatas, ada pula alat bukti yang dapat digunakan dalam proses pembuktian di pengadilan serta disebutkan undang-undang, yaitu
1.   Pemeriksaan di Tempat (pasal 153 HIR/180 RBG)
2.   Keterangan ahli (pasal 154 HIR/181 RBG).
Sedangkan alat bukti dalam proses pembuktian di pengadilan yang tidak di sebutkan oleh undang-undang namun bisa di gunakan dalam pembuktian adalah :
1.   Foto, Film Rekaman Video/tape/CD
2.   Microfilm, microfisce.
Alat-alat bukti yang telah disebutkan diatas sesuai dengan surat Ketua MA kepada Menteri Kehakiman Nomor 37/TU/88/102/Pid tanggal 14 Januari 1988, yang menjelaskan bahwa hal tersebut di atas bisa di jadikan alat bukti dengan catatan terjamin otentikasinya yang dapat ditelusuri dari registrasi maupun berita acara.
A. Alat Bukti Surat / Tulisan
Dasar hukum yang digunakan untuk melandasi alat bukti yang berupa tulisan atau surat ini adalah pasal 164 HIR/284, 293, 294 ayat (2) dan 164 ayat (78) RBG/1867-1880, 1869, dan pasal 1874 KUH Perdata. Surat sebagai alat bukti tertulis terbagi menjadi tiga, yaitu:
1)   Akta Autentik.
Pasal165 HIR/285 RBG/1868 KUH Perdata menjelaskan, yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang tersebut di dalarn surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekadar diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. Akta autentik harus memenuhi unsur-unsur :
a)   Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang,
b)   Sengaja dibuat untuk surat bukti,
c)   Bersifat partai,
d)  Atas permintaan partai,
e)   Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.
Kekuatan yang dimiliki oleh akta autentik sebagai salah satu alat bukti adalah :
a.    Mempunyai kekuatan pembuktian lahir, yaitu kekuatan yang berdasarkan atas apa yang tampak.
b.   Mempunyai kekuatan pembuktian formal, yaitu pihak yang tercantum dalam akta tersebut telah benar menyatakan apa yang tertulis dalam akta yang dibuat dan ditandatangai oleh pejabat yang berwenang.
c.    Memiliki kekuatan material, yaitu bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut benar-benar telah terjadi.
d.   Mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat, yaitu apabila isi surat tersebut ada pihak ketiga, maka apa yang disebutkan oleh para pihak atau seseorang dan isinya mempunyai kekuatan pembuktian ke luar.
e.    Memiliki kekuatan sempurna, yaitu tidak memerlukan alat bukti lain untuk melengkapi (pasal 1870 KUH Perdata/165 HIR/285 RBG).
2)   Akta di Bawah Tangan
Akta ini di atur dalam pasal 289-305 RBG/1874-1880 KUH Perdata, namun dalam ruang lingkup luar Jawa Madura. Sedangkan dalam lingkup Jawa dan Madura peraturan ini dapat ditemukan dalam Stb. 1867 Nomor 29. Dalam undang-undang dan peraturan tersebut menjelaskan bahwa :
a)   Dipandang sebagai akta di bawah tangan yaitu surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan surat yang surat ditandatangani dan dibuat dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum.
b)   Tanda tangan di bawah surat di bawah tangan disamakan suatu cap jari yang dibuat di bawah surat itu dan disahkan oleh keterangan yang bertanggal dari seorang notaris atau pejabat umum lainnya, yang akan ditunjukkan dengan ordonansi. Keterangan itu harus. menyatakan bahwa ia kenal orang yang. membuat (cap jempol itu, atau, bahwa orang itu telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta itu telah dibacakan dengan terang kepada orang yang membuat cap jari itu, dan bahwa setelah itu cap jari itu dibuat di hadapan notaris atau pejabat umum dimaksud.
c)   Surat itu dibukukan oleh notaris atau pejabat umum itu.
d)  Keterangan dan hal membukukan itu buat menurut peraturan tentang itu, yang sudah atau akan ditetapkan dengan ordonansi.
Kekuatan yang dimiliki oleh alat bukti akta di bawah tangan adalah :
a.    Apabila tanda tangan yang dibubuhkan dalam akta tersebut di akui kebenarannya oleh masing-masing pihak, maka akta tersebut disebut “akta dibawah tangan yang diakui”, yang memiliki kekuatan lahir, dan kekuatan materialdan formal.
b.   Akta dibawah tangan yang diakui sama halnya dengan akta otentik dalam segi kekuatannya sebagai alat bukti tertulis. Namun akta dibawah tangan ini tidak memiliki kekuatan bukti ke luar, sebagaiman yang dimiliki oleh akta otentik.

B.  Alat Bukti Saksi.
Dasar yang digunakan untuk penggunaan alat bukti saksi dalam proses pembuktian di pengadilan adalah pasal 169-172 HIR/306-309 RBG/1895, 1902-1912 KUH Perdata. Pengertian alat bukti saksi yang diuraikan oleh Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo bahwa keterangan saksi atau suatu kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan dtentang peristiwa yang disengketakan dangan jalam pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan.
Sehubungan dengan undang-undang yang telah disebutkan di atas, serta uraian dari pakar hukum, maka saksi yang di panggil dalam persidangan harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1)   Kewajiban hadir dalam persidangan karena telah dipanggil secara patut menurut hukum sesuai dengan pasal139, 140, 141 HIR,
2)   Kewajiban untuk bersedia di sumpah menurut agama yang di anutnya.
3)   Kewajiban memberikan keterangan yang benar.
Dalam pasal 169 RBG di sebutkan bahwa pemeriksaan saksi yang tidak dapat hadir ddalam persidangan karena sakit atau cacat badan, maka ketua majelis hakim mengirimkan anggota majelis hakim untuk hadir ke rumah saksi tersebut dengan disertai oleh panitera untuk mendengarkan keterangan saksi tanpa di sumpah yang kemudian di masukkan dalam berita acara pemeriksaan yang selanjutnya dilaporkan kepada ketua majelis hakim.
Apabila saksi yang digunakan dalam suatu proses pembuktian di pengadilan, maka menurut pasal 143 HIR dan Pasal 170 RBG, saksi dapat diperiksa oleh pengadilan yang berada dalam wilayah tempat tinggal saksi, yang kemudian diserahkan kepada hakim yang memeriksa semula dalam bentuk berita acara pemeriksaan.
Kemudian dari pihak majelis hakim memeriksa saksi dalam persidangan dengan ketentuan sebagai berikut :
1)   Cara Pemeriksaan Saksi Di Persidangan Sesuai dengan Pasal 144 HIR/171 RBG yaitu :
a)   Para saksi yang hadir pada hari yang ditentukan itu, dipanggil ke dalam ruang sidang satu per satu.
b)   Ketua menanyakan nama pekerjaan, umur, dan tempat tinggal atau kediaman saksi itu.
c)   Ditanyakan pula apakah saksi tersebut berhubungan keluarga dengan kedua belah pihak, atau dengan salah satu pihak, baik karena hubungan darah maupun karena perkawinan dan jika ada sampai derajat ke berapa. Selain itu ditanyakan juga apakah saksi bekerja atau sebagai pegawai salah satu pihak.
C.  Alat Bukti Persangkaan.
Pasal 173 HIR / 310 R.Bg hanya menerangkan tentang petunjuk bagi hakim tentang tata cara mempergunakan alat bukti persankaan, yaitu persangkaan-persangkaan hanya boleh dipertimbangkan oleh hakim ketika hakim hendak menjatuhkan putusannya jika persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan bersesuaian antara satu dengan lainnya.
Sedangkan dalam pasal 1915 KUH Perdata menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan oleh hakim atas dasar persangkaan-persangkaan dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah peristiwa yang tidak dikenal.
D. Alat Bukti Pengakuan.
Dasar hukum yang melandasi alat bukti pengakuan dalam proses pembuktian di pengadilan di atur dalam pasal 174 HIR/311 RBG/1923-1928 KUH Perdata. Kemudian dalam proses pengakuan terdapat klasifikasi tntang pengakuan-pengakuan yang di ajukan oleh masing masing pihak yang beperkara yaitu :
1)   Pengakuan Murni Pasal 176 HIR / 313 RBG/ 1924 KUH Perdata, yaitu pengakuan yang sepenuhnya membenarkan dalil yang di ajukan penggugat. Dalam hal pengakuan ini bersifat mutlak dengan tidak ada ketentuan atau syarat apapun.
2)   Pengakuan dengan kualifikasi, yaitu suatu pengakuan yang bersifat sesuai sebagaimana dalil yang diajukan oleh penggugat. Jadi pengakuan tersebut disertai dengan suatu sangkalan terhadap sebagina dalil yang di kemukakan oleh pihak penggugat.
3)   Pengakuan dengan klasula, yaitu pengakuan yang isinya sama dengan pernyataan penggugat. Akan tetapi ditambahi dengan suatu keterangan. Sehingga pengakuan tersebut bersifat menentang dalil lawan atau melumpuhkan dalil lawan untuk menuntut.
E.  Alat Bukti Sumpah.
Menurut uraian Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo sumpah pada umumnya adalah suatu pernyatan yang khidmad yang diberikan atau diucapkan pada saat memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberikan keterang yang tidak benar maka akan mendapatkan hukman dari-Nya. Jadi sumpah adalah tindakan religius yang digunakan dalam pengadilan dalam proses pembuktian.
Dasar hukum dari alat bukti sumpah ini adalah pada pasal 155-158, 177 HIR/182-185 RBG/1929-1945 KUH Perdata. Kemudian macam-macam alat bukti sumpah terbagi menjadi:
1)   Sumpah Supletoir sesuai pasal 155 HIR / 183 RBG/1940 KUH Perdata, yaitu :
a)   Jika kebenaran gugatan atau jawaban atas tidak cukup terang, tetapi ada juga sedikit keterangan, dan sama sekali tidak ada Jalan untuk dapat menguatkannya dengan alat bukti lain, maka karena Jabatannya pengadilan dapat menyuruh salah satu pihak bersumpah di hadapan hakim, baik untuk mencapai putusan dalam perkara itu bergantung kepada sumpah itu, maupun untuk menentukan dengan sumpah itu jumlah uang yang akan di kabulkan.
b)   Dalam hal yang kemudian itu harus pengadilan menetukan jumlah uang, yang sehingga itulah boleh dipercaya Penggugat karena sumpahnya.
2)   Sumpah Decissoir sesuai dengan pasal 156 HIR/183RBG/ 1930 KUH Perdata, yaitu :
a)   Walaupun tidak ada suatu keterangan untuk menguatkan gugatan atau jawaban atas gugatan itu, maka salah satu pihak dapat meminta, supaya pihak yang lain bersumpah, di hadapan hakim untuk mencapai putusan dalam perkara           itu bergantung kepada sumpah itu asal perbuatan yang dilakukan oleh pihak itu sendiri, yang kepada sumpahnya itu akan bergantung putusan itu.
b)   Kalau perbuatan itu suatu perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, pihak yang tidak mau disuruh mengangkat sumpah dapat menolak sumpah itu kepada lawannya.
c)   Barang siapa disuruh  bersumpah, tetapi tidak mau bersumpah sendiri atau menolak sumpah itu kepada lawannya, ataupun barangsiap menyuruh bersumpah tetapi sumpah itu dipulangkan kepadanya, dan tidak mau bersumpah maka ia harus dikalahkan.
d)  Sumpah itu tidak dapat diminta ditolak atau diterima oleh orang lain, hanya oleh pihak itu sendiri atau oleh seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
3)   Sumpah yang Dilakukan oleh Kuasa Hukum sesuai dengan pasal 157 HIR / 184 R.Bg, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim atau yang diminta supaya diangkat oleh salah satu pihak atau ditolak oleh satu pihak kepada pihak lain, harus dilakukan sendiri, kecuali kalau karena sebab yang penting pengadilan memberi izin kepada salah satu pihak, akan menyuruh bersumpah seorang wakilnya, yang secara khusus dikuasakan untuk mengangkat sumpah itu, kuasa itu hanya boleh diberikan dengan suatu akta, sebagai tersebut dalam ayat ketiga Pasal 147 RBG yang dengan saksama dan cukup menyebutkan sumpah yang akan diangkat itu.
4)   Sumpah Taxatoir, yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan ganti rugi yang harus ditanggung oelh tergugat. Sumpah ini disebut juga sumpah penaksir, aestimatoir, atau schattingseed yang di atur dalam pasal 155 HIR/ 182 RBG/ 1940 KUH Perdata. Karena sumpah ini hanya di bebankan kepada pihak penggugat, maka penggugat harus sudah bisa membuktikan dalil-dalil gugatannya bahwa dirinya telah menanggung kerugian akibat perbuatan perbuatan tergugat.
5)   Tata Cara Mengangkat Sumpah  diatur dalam pasal 312 HIR / l75 RBG yaitu,
a)   Pengangkatan sumpah selalu dilakukan dalam persidangan pengadilan, kecuali jika ada suatu halangan yang sah menyangkal perbuatan itu, atau jika hakim memerintahkan supaya sumpah itu akan diangkat dalam masjid, kelenteng atau tempat yang dipandang keramat.
Dalam hal itu Ketua Pengadilan dapat memberi kuasa kepada salah seorang anggota pengadilan, supaya ia dengan banwan Panitera, yang harus membuat berita acara tentang hal itu, mengambil sumpah dari pihak yang berhalangan itu di rumahnya atau di tempat yang ditunjukkan oleh hakim.
b)   Jika sumpah harus diangkat di luar daerah hukum pengadilan, maka Ketua meminta kepada pemerintah setempat dalam daerah hukumnya terletak tempat mengangkat sumpah itu, akan mengambil sumpah itu dan akan mengirimkan berita acara yang dibuat tentang hal itu dengan segera. Sumpah tidak boleh diangkat, melainkan dihadapan pihak yang lain, atau sesudah pihak itu dipanggil dengan patut.







BAB VI
PUTUSAN PENGADILAN

A. PENGERTIAN
Pengertian putusan pengadilan menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP yaitu pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Bahwa bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung dari hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang peradilan. Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya, dengan terlebih dahulu hakim memeriksa perkaranya.
Bahwa setelah putusan pengadilan diucapkan oleh hakim harus ditanda tangani oleh hakim dan panitera (Pasal 200 KUHAP) dalam hal ini semua hakim yang memeriksa perkara harus ikut menandatangani baik hakim ketua maupun hakim anggota. Menurut Pasal 195 KUHAP, semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Dari pasal tersebut, dapat diambil pengertian sebagai berikut:
1.   Putusan pengadilan berlaku sah dan mempunyai kekuatan hokum apabila diucapkan di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.
2.   Semua keputusan tanpa kecuali harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Putusan yang diucapkan dalam sidang tertutup dengan sendirinya tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sekalipun dalam perkara kesusilaan dan perkara yang terdakwanya anakanak. Berdasar sejauh mana suatu perkara diperiksa oleh hakim, maka menurut KUHAP terdapat dua jenis putusan:
3.   Putusan akhir: yaitu putusan yang dijatuhkan hakim dalam perkara yang bersangkutan, diperiksa sampai dengan selesai materi perkaranya.
4.   Putusan sela: yaitu putusan yang dijatuhkan hakim apabila perkara yang diperiksa belum memasuki materinya.

Dalam kaitannya dalam makalah ini, jenis putusan yang dibahas adalah putusan akhir. Mengenai putusan akhir, putusan ini bersifat mengakhiri perkara dan menentukan status terdakwa selanjutnya.. Putusan akhir baru dapat dijatuhkan oleh hakim setelah seluruh rangkaian pemeriksaan dipersidangan selesai. Suatu perkara pidana setelah dilakukan pembuktian, tuntutan pidana, pembelaan, replik dan duplik maka hakim harus dapat memberikan putusan setelah musyawarah.
Putusan pemidanaan bersifat memidana terdakwa, karena yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan penuntut umum. Untuk putusan yang bukan pemidanaan dibagi menjadi dua yaitu putusan bebas dari segala dakwaan dan putusan lepas dari tuntutan hukum. Dalam putusan bebas artinya dakwaan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut penilaian hakim berdasar pembuktian di persidangan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Dakwaan tidak terbukti apabila salah satu atau semua unsur tindak pidana terjadi, karena salah satu atau semua unsure tindak pidana tersebut tidak terpenuhi. Sedangkan putusan lepas dari tuntutan hukum artinya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, namun bukan merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
Pengambilan keputusan adalah suatu proses untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara memilih salah satu dari berbagai alternatif yang ada untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan yaitu menghasilkan suatu keputusan yang baik untuk mengatasi suatu masalah. Readford dalam (Asiyarfitriadi, 2005) mengungkapkan definisi pengambilan keputusan sebagai suatu perumusan berbagai macam alternatif tindakan dalam menghadapi situasi serta menetapkan pilihan yang tepat dari berbagai alternatif. Pengambilan keputusan (decision making) melibatkan proses kognitif, dimulai dari mengenali masalah, mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah, menilai, memilih, hingga memutuskan alternatif yang paling adekuat. Menurut Harisson dalam (Supriyanto, 2005), seorang individu dikatakan telah mengambilkeputusan bila :
1.   telah memulai serangkaian reaksi perilaku yang diarahkanpada sesuatu yang lebih disukai,
2.   telah memantapkan pikirannya untuk melakukan beberapa tindakan, atau yang paling umum
3.   telah membuat putusan mengenai apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu setelah sebelumnya mempertimbangkan berbagai alternatif pilihan.

Idealnya, hukum memberikan petunjuk aturan yang objektif dan prosedur yang eksplisit. Berdasarkan hasil penelitian pakar psikologi forensik, Davis (Baron & Byrne, 1991) menemukan bahwa manusia sebagai pelaku hukum tidak selalu dapat berfungsi secara tepat dengan cara-cara yang obyektif. Ruang peradilan, menurut Myers (Helmi, 1997) adalah miniatur dunia sosial yang bersifat human relation. Artinya, di ruang peradilan terjadi proses saling mempengaruhi antar penegak hukum, yaitu antara hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan bahkan masyarakat. Ketika terjadi interaksi sosial, dilukiskan Baron&Byrne (Helmi, 1997) maka perilaku dan penilaiannya dalam proses peradilan dipengaruhi oleh sikap, kognisi, dan emosinya.
Poernomo (Helmi, 1997) mengatakan dunia peradilan akhir-akhir ini mendapat sorotan yang tajam dari masyarakat, hal ini disebabkan karena adanya beberapa aparat penegak hukum yang dinilai telah melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum. Sorotan tajam itu ditujukan pada aparat kepolisian dan hakim. Polisi sebagai penyidik disinyalir masih menggunakan pendekatan konvensional dalam mengungkap kesaksian terdakwa, yaitu dengan cara kekerasan fisik. Sedangkan hakim sebagai aparat yang paling akhir dalam proses peradilan disinyalir oleh beberapa pakar hukum dalam membuat putusan dinilai kurang konsisten dan menunjukan disparitas yang besar. Isu kolusi pun merebak dalam tubuh lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, yaitu Mahkamah Agung. Menjadi hakim merupakan tugas yang cukup berat karena dapat menentukan kehidupan seseorang untuk dapat memperoleh kebebasan ataukah hukuman. Jika terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan (Dewantara, 1987), maka akan dapat merenggut nyawa, kemerdekaan, kehormatan dan harta benda yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan setiap insan. Suatu persidangan melibatkan banyak manusia yaitu pembela, jaksa, saksi, terdakwa, panitera, dan penonton persidangan. Maka selain muatan hokum sebenarnya juga terdapat muatan psikologis. Muatan psikologis itu akan muncul atau dimunculkan di dalam ruang pengadilan tak ubahnya teater psikologis. Oleh karena itu peran psikologi dalam bidang hukum amat besar, karena hokum melibatkan manusia sebagai pelaku hukum (Probowati, 1997). Hakim selama ini diharapkan dapat menerapkan hukum dengan adil dan bertanggung jawab (Probowati, 1997). Seorang hakim dituntut untuk dapat menilai apa yang ada dalam ruang persidangan dalam hal ini adalah mengenai keterangan saksi (dapatkah saksi dipercaya kesaksiannya, keterangannya palsu atau tidak, pemaparan kejadian selama persidangan), terdakwa (bagaimana terdakwa menghadapi persidangan, sikapnya, pemaparannya mengenai kejadian), barang bukti (bagaimana kelengkapannya, memberatkan atau meringankan), tuntutan jaksa (sudah sesuaikah dengan pasal yang dituntutkan pada terdakwa), pengacara (sikap dan perilaku pengacara selama persidangan). Semua itu merupakan hal yang harus diperhatikan dan membutuhkan kejelian dalam menggali kejadian yang sebenarnya sehingga dapat diperoleh suatu keputusan yang dianggap adil dan obyektif. Namun pada kenyataannya terkadang hakim kurang jeli dalam persidangan, misalnya salah persepsi dalam menilai suatu kejahatan, atau kurangnya penggalian data dari saksi yang mungkin dapat memberatkan terdakwa, selain itu juga kesalahan pada saat proses penyidikan yang memaksa terdakwa mengakui kesalahan yang tidak dilakukan pun dapat membuat hakim memutuskan bersalah jika memang didukung oleh bukti yang memberatkan, selain itu stereotype yang mungkin muncul pun dapat mempengaruhi keputusan hakim.
Dalam membuat keputusan pengadilan, seorang hakim dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1.   Faktor hakim itu sendiri, misalnya adalah kepribadiannya, intelegensi, suasana hati.
2.   Faktor opini publik yang tertulis dalam media massa ketika sidang tengah berlangsung.
3.   Faktor pengacara, misalnya performance dan gaya bicara yang meyakinkan juga memberikan pengaruh terhadap putusan hukuman.
4.   Faktor terdakwa, misalnya jenis kelamin terdakwa, ras dan kemampuan bicara (Probowati, 1997). Begitu beratnya sebenarnya tugas seorang hakim, karena ditangan hakimlah pencari keadilan akan meletakkan kepercayaan dan harapannya.
Namun seorang hakim tetaplah seorang manusia yang tidak akan terlepas dari segi kemanusiaannya. Hakim bukanlah malaikat ataupun benda mati yang dapat melakonkan hukum seperti dewi keadilan yang membawa pedang dengan mata tertutup, dimana hukum diterapkan dengan prinsip mesin secara akurat, konsisten tanpa melihat orangnya. Sekali lagi hakim hanyalah manusia biasa yang dapat memunculkan sisi kemanusiaannya saat berhadapan dengan manusia lain saat berada di ruang sidang. Binoto dalam Sinar Harapan (2003), menuliskan bahwa putusan pengadilan yang mengundang atau menimbulkan rasa kecewa pencari keadilan bukan hanya sekali ini saja terjadi. Sebelumnya sudah sering terjadi putusan pengadilan yang membuat pencari keadilan menjadi sesak napas. Kali ini yang berbeda adalah reaksi terhadap ketidakpuasan putusan tersebut.
Bila dalam peristiwa Larantuka, yang menjadi sasaran ketidakpuasan dari sebagian anggota masyarakat adalah gedung pengadilan dan kejaksaan negeri setempat. Sedangkan pada kasus atau kejadian lain, yang menjadi sasaran amarah adalah hakim atau aparat penegak hukum sendiri.

B.  DASAR HUKUM
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
a)   Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
b)   Pasal 182 ayat (3) dan ayat (8) KUHAP
c)   KUHP dan KUHAP

C.  SYARAT PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Di dalam dunia peradilan, ada beberapa jenis pelaksanaan putusan yaitu :
1.   putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang.
2.   putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan.
3.   putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap.
4.   eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang.
Selanjutnya didalam mengeksekusi putusan pengadilan, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan antara lain :
1.   Putusan telah berkekuatan hukum tetap kecuali dalam hal :
a.    pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu.
b.   pelaksanaan putusan provinsi.
c.    pelaksanaan akta perdamaian.
d.   pelaksanaan Grose Akta.
2.   Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara suka rela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh ketua pengadilan.
3.   Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir, sehingga dalam putusan diklaratoir dan konstitutif tidak diperlukan eksekusi.
4.   Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan.
Sedangkan yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi tidak berwenang melaksanakaan eksekusi. Sedangkan tata cara sita eksekusi sebagai berikut :
a.    Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan.
b.   Berdasarkan surat perintah Ketua Pengadilan, surat perintah Ketua Pengadilan dikeluarkan apabila :
5.   Tergugat tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah.
6.   tergugat tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan.
a.    Dilaksanakan oleh panitera atau juru sita.
b.   Pelaksanaan sita eksekusi harus dibantu oleh dua orang saksi :
7.   Keharusan adanya dua saksi merupakan syarat sah sita eksekusi.
8.   Dua orang saksi tersebut berfungsi sebagai pembantu sekaligus sebagai saksi sita eksekusi.
9.   Nama dan pekerjaan kedua saksi tersebut harus dicantumkan dalam berita acara sita eksekusi.
10.  Saksi-saksi tersebut harus memenuhi syarat :
a. telah berumur 21 tahun
b.berstatus penduduk Indonesia
c. memiliki sifat jujur
11.  Sita eksekusi dilakukan di tempat obyek eksekusi.
12.  Membuat berita acara sita eksekusi yang memuat :
a. nama, pekerjaan dan tempat tinggal kedua saksi,
b.merinci secara lengap semua pekerjaan yang dilakukan,
c. berita acara ditanda tangani pejabat pelaksana dan kedua saksi (pihak tersita dan juga kepala desa tidak diharuskan, menurut hukum, untuk ikut menanda tangani berita acara sita).
Isi berita acara sita harus diberi tahukan kepada pihak tersita, yaitu segera pada saat itu juga apabila ia hadir pada eksekusi penyitaan tersebut, atau jika tidak hadir maka dalam waktu yang secepatnya segera diberitahukan dengan menyampaikan di tempat tinggalnya.
13.  Penjagaan yuridis barang yang disita diatur sebagai berikut :
a.    Penjagaan dan penguasaan barang sita eksekusi tetap berada di tangan tersita,
b.   Pihak tersita tetap bebas memakai dan menikmatinya sampai pada saat dilakukan penjualan lelang,
c.    Penempatan barang sita eksekusi tetap diletakkan di tempat mana barang itu disita, tanpa mengurangi kemungkinan memindahkannya ke tempat lain,
d.   Penguasaan penjagaan tersebut harus disebutkan dalam berita acara sita,
e.    Mengenai barang yang bisa habis dalam pemakaian, maka tidak boleh dipergunakan dan dinikmati oleh tersita
f.    Ketidak hadiran tersita tidak menghalangi sita eksekusi.

D. PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman :
1.   Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Jaksa.
2.   Pengawasan pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut ayat (1) oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan, diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
3.   Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan.
4.   Dalam melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap dipelihara.

E.  BENTUK-BENTUK PUTUSAN
Jenis-jenis putusan pengadilan terdiri:
1.   Pemidanaan.
2.   Putusan bebas.
3.   Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

a)   Pemidananaan.
Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah memperoleh keyakinan, bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana.
Memberitahukan kepada terdakwa bahwa memiliki hak untuk menerima, pikir-pikir atau banding.
b)   Putusan bebas.
Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan (pasal 191 (1) KUHAP).
a.       Tidak terbukti adanya kesalahan
b.      Tidak adanya 2 alat bukti
c.       Tidak adanya keyakinan hakim
d.      Tidak terpenuhinya unsur tindak pidana
c)   Putusan lepas dari segala tuntutan hokum.
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (pasal 191 (2) KUHAP.
a.    Terbukti tetapi bukan tindak pidana
b.   Adanya alasan pemaaf, pembenar atau keadaan darurat.

F.   HAK DAKWAAN
Hak adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang terdakwa. Apabila hak tersebut dilanggar, maka hak asasi dari terdakwa telah dilanggar.
Hak-hak terdakwa :
1.   Hak segera menerima atau segera menolak putusan
2.   Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini;
3.   Hak meminta menangguhkan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
4.   Menyatakan banding.
5.   mendapatkan bantuan hokum
6.   ditunjuk penasihat hukum pada kasus tertentu yang diberikan cuma-cuma
7.   bantuan juru bahasa (bagi yang tidak mengerti bahasa Indonesia)
8.   bantuan penterjemah yang memahami dan dapat berkomunikasi dengan tuna rungu atau tuna wicara (bagi terdakwa tuna wicara atau tuna rungu)
9.   pembelaan terdakwa berhak mendapat surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan.
10.     Menghubungi penasehat hukumnya.
11.     Menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain untuk kepentingan penangguhan penahanan atau usaha mendapat bantuan hokum.
12.     Meminta atau mengajukan penangguhan penahanan.
13.     Menghubungi atau menerima kunjungan dokter pribadi untuk kepentingan kesehatan.
14.     Menghubungi atau menerima kunjungan sanak keluarga.
15.     Mengirim surat dan atau menerima surat.
16.     Mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan.
17.     Menghubungi atau menerima kunjungan rohaniawan dan menjalankan ibadah.
18.     Bebas dari tekanan seperti diintimidasi, disiksa secara fisik dll.
19.     Proses Peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan.
20.     Pemeriksaan sidang pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum kecuali sidang tertentu yang ditentukan berdasar UU.
21.     Pemeriksaan di persidangan secara langsung dan lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti para saksi dan terdakwa.











BAB VII
PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN

A. PENDAHULUAN
Dalam KUHAP, pemeriksaan dalam sidang pengadilan ada 3 macam acara pemeriksaan:
1.   Acara Pemeriksaan Biasa
2.   Acara Pemeriksaan Singkat
3.   Acara Pemeriksaan Cepat yang terdiri atas :
a.    Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
b.   Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu lintas Jalan.

B.  ACARA PEMERIKSAAN BIASA
1.   Tata Cara Pemeriksaan Terdakwa
a.    pemeriksaan dilakukan oleh Hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan (pasal 152 KUHAP).
b.   pemeriksaan dilakukan secara lisan dalam Bahasa Indonesia, secara bebas dan terbuka untuk umum. (pasal 153 KUHAP).
c.    anak di bawah umur tujuh belas tahun dapat dilarang menghadiri sidang.
d.   pemeriksaan dilakukan dengan hadirnya terdakwa, dan dapat dipanggil secara paksa.
e.    pemeriksaan dimulai dengan menanyakan identitas terdakwa.
f.    pembacaan surat dakwaan.
2.   Keberatan (Eksepsi) terdakwa atau penasihat hukum (pasal 156 KUHAP)
a.    macam atau jenis eksepsi
1)   eksepsi tidak berwenang mengadili
2)   keberatan tidak berwenang mengadili secara relatif
3)   keberatan tidak berwenang mengadili secara mutlak

b.   eksepsi dakwaan tidak dapat diterima
c.    keberatan surat dakwaan batal demi hukum
3.   Perlawanan Terhadap Putusan Eksepsi (pasal 156 KUHAP)
4.   pembuktian / pemeriksaan alat-alat bukti
a.    Sistem Pembuktian
1)   sistem pembuktian semata-mata berdasar keyakinan hakim (convictim in time).
2)   .sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan logis (la conviction raisonnee / convictim – raisonee).
3)   sistem pembuktian berdasar UU secara positif.
4)   sistem pembuktian undang-undang secara negatif.
b.   alat-alat bukti pasal 184 KUHAP menentukan, alat bukti yang sah adalah
1)   keterangan saksi
2)   keterangan ahli
3)   surat
4)   petunjuk
5)   keterangan terdakwa

sebagai perbandingan pasal 295 HIR memuat, sebagai upaya bukti menurut UU hanya mengakui hal berikut :
1.   kesaksian-kesaksian
2.   surat-surat
3.   pengakuan
4.   isyarat-isyarat / petunjuk

dalam pasal 184 KUHAP ada penambahan alat bukti, yaitu tentang keterangan ahli. Dalam KUHP pasal 339 disebut alat bukti sbb :
1.   eigen waarneming van de rechter (pengamatan sendiri oleh hakim)
2.   verklaringen van de verdachte (keterangan terdakwa)
3.   verklaringen van een getuige (keterangan seorang saksi)
4.   verklaringen van een deskundige (keterangan seorang ahli)
5.   schriftelijke bescheiden (surat-surat)

1)   Keterangan Saksi
a)   adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (pasal 1 butir (27) KUHAP, juga pasal 1 butir (28) UU No.31/1997 tentang peradilan militer).
b)   kewajiban memberi kesaksian menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang.
c)   Tata Cara Pemeriksaan Saksi
1.   saksi dipanggil seorang demi seorang (psl 160 ayat 1)
2.   memeriksa identitas saksi (psl 160 ayat (1) b)
3.   saksi wajib mengucapkan sumpah
a.    sumpah diberikan sebelum memberi keterangan (pasal 160 ayat 3).
b.   sumpah diberikan sesudah memberi keterangan (pasal 160 ayat 4).
d)  sumpah dapat diucapkan di luar sidang (psl 233 (1)
e)   penolakan sumpah dapat dikenakan sandera (psl 161)
f)    .keterangan saksi di sidang berbeda dengan berita acara. (psl 185 ayat 1)
g)   terdakwa dapat membantah atau membenarkan keterangan saksi. (psl 164 ayat 1)
h)   kesempatan mengajukan pertanyaan kepada saksi dan terdakwa. (psl 165)
i)     larangan mengajukan pertanyaan yang bersifat menjerat.(psl 166 KUHAP)
j)     saksi yang telah memberi keterangan tetap hadir di sidang (psl 167 KUHAP).
k)   yang tidak dapat didengar sebagai saksi.(psl 168 a KUHAP)
l)     mereka yang dapat minta dibebaskan menjadi saksi.(psl 170 ayat 1 dan 2)
m) mereka yang boleh memberi keterangan tanpa sumpah (pasal 171 KUHAP)
n)   pemeriksaan saksi dapat didengar tanpa hadirnya terdakwa.(pasal 173 KUHAP)
o)   keterangan saksi palsu.(pasal 174 KUHAP).
p)   pemeriksaan saksi dan terdakwa dapat dilakukan dengan juru bahasa dan penerjemah. (psl 177 KUHAP)
q)   syarat sahnya keterangan saksi
r)    nilai pembuktian kesaksian yang tidak disumpah dan kesaksian yang disumpah.

2)   Keterangan Ahli
a.    pengertian keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (pasal 1 butir 28 KUHAP, juga pasal 1 butir 29 UU No.31/1997 tentang peradilan militer).
b.   kewajiban memberikan keterangan ahli (psl 179 KUHAP )
c.    nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli (psl 183, psl 185 ayat 2)
3)   Surat
a.    pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan adalah :
b.   berita acara
c.    surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
d.   surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan eahliannya.
e.    surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain (pasal 187 KUHAP).
f.    nilai kekuatan pembuktian sura
secara formal alat bukti surat sebagaimana disebut pada pasal 187 huruf a,b,c adalah alat bukti sempurna.
4)   Petunjuk
a.    pengertian , KUHAP pasal 188 ayat (1) adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
b.   cara memperoleh alat bukti petunjuk
menurut pasal 188 ayat (2) , petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a.keterangan saksi, b.surat, c.keterangan terdakwa.
5)   Keterangan Terdakwa
adalah istilah baru sebagai alat bukti yang terdapat dalam KUHAP.
6)   Penuntutan oleh penuntut umum
penuntutan atau dikenal juga dengan istilah requisitoir adalah langkah selanjutnya yang diberikan kepada jaksa penuntut umum dalam lanjutan sidang pengadilan suatu perkara pidana setelah pemeriksaan alat-alat bukti atau pembuktian.
Secara sederhana isi tuntutan pidana itu :
1.   identitas terdakwa
2.   dakwaan ; primair , subsidair dst.
3.   pemeriksaan pengadilan :
a.    saksi-saksi
b.   keterangan terdakwa
c.    surat
d.   pemeriksaan ditempat kejadian
4.   fakta-fakta hukum
5.   hal-hal yang memberatkan
6.   hal-hal yang meringankan
7.   tuntutan hukuman
8.   Pembelaan (pleidoi) terdakwa / penasihat hukum.
Setelah penuntutan dilakukan oleh penuntut umum, maka kemudian kepada terdakwa atau penasihat hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan atau pledoi .Pasal 182 ayat (1) b mengatakan, selanjutnya terdakwa dan atau penasehat hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan atau pledoi.

C.  ACARA PEMERIKSAAN SINGKAT
1.   Syarat Pemeriksaan Singkat
pasal 203 KUHAP menentukan , (1) yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan pasal 205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
2.   Tata Cara Pemeriksaan Singkat
a.    penuntut umum menghadapkan terdakwa, saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti. (lihat psl 203 ayat 2 KUHAP)
b.   waktu, tempat, dan keadaan melakukan tindak pidana diberitahukan lisan , dicatat dalam berita acara sebagai pengganti surat dakwaan. (lihat psl 203 ayat 3 KUHAP)
c.    dapat diadakan pemeriksaan tambahan paling lama empat belas hari. (pasal 203 ayat 3 (b) KUHAP)
d.   terdakwa dan atau penasihat hukum dapat minta tunda sidang paling lama tujuh hari. (lihat psl 203 ayat 3(c) KUHAP).
e.    putusan tidak dibuat secara khusus, melainkan dalam berita acara sidang putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut, isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan dalam acara biasa (psl 203 ayat 3 (d) , (e) dan (f) KUHAP ).

D. ACARA PEMERIKSAAN CEPAT
1.   Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
a.    syarat pemeriksaan tindak pidana ringan
yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan, kecuali yang dalam paragraf 2 bagian ini (pasal 205 ayat (1) KUHAP).
b.   Tata Cara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
1)   yang menghadapkan terdakwa dalam sidang adalah polisi, bukan jaksa penuntut umum. (lihat psl 205 ayat 2)
2)   mengadili dengan hakim tunggal, tingkat pertama dan terakhir, kecuali divonis penjara dapat banding. (lihat psl 205 ayat 3 KUHAP).
3)   pemeriksaan pada hari tertentu dalam tujuh hari (lihat pasal 206 KUHAP).
4)   saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali jika perlu (pasal 208 KUHAP).
2.   Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan
a.    syarat pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan.
Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan dalam paragraf ini ialah perkara pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan (pasal 211 KUHAP).
b.   Tata Cara Pemeriksaan Pelanggaran Lalu Lintas Jalan
1)   tidak diperlukan berita acara pemeriksaan (psl 207 ayat 1)
2)   dapat menunjuk seorang wakil.
terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya disidang (pasal 213 KUHAP).








.




BAB VIII
BANDING

A. BANDING
       Salah satu upaya hukum yang biasa adalah banding. Lembaga banding diadakan dibuat oleh pembuat undang-undang, oleh karena dikhawatirkan bahwa hakim yang adalah manusia biasa, membuat kesakahan dalam menjatuhkan sesuatu putusan. Oleh karena itu, dibuka kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding kepada pengadilan tinggi.Upaya hukum banding diadakan oleh pembuat undang-undang,karena dikhawatirkan ada kesalahan dari hakim dalam menjatuhkan sebuah putusan,karena hakim juga manusia. Karena itu dibuka kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi.
      Dengan diajukan permohonan banding, perkara menjadi mentah lagi. Putusan pengadilan negeri, kecuali apabila dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, atau putusan tersebut adalah suatu putusan provisionil, tidak dapat dilaksanakan. Berkas perkara yang bersangkutan, tidak dapat dilaksanakan. berkas perkara yang bersangkutan, beserta salinan resmi putusan tersebut serta surat-surat yang lain-lainnya, akan dikirimkan kepada pengadilan tinggi untuk diperiksa atau diputus lagi. Yang akan diperiksa adalah semua surat-suratnya, dengan lain perkataan berkasnya. Jarang sekali terjadi, bahwa orang yang bersangkutan, yaitu penggugat dan tergugat diperiksa lagi oleh pengadilan tinggi. Hal ini hanya dilakukan apabila pengadilan tinggi menganggap bahwa pemeriksaan belum sempurna dilakukan dan menjatuhkan putusan sela dengan maksud untuk memperlengkapi pemeriksaan tersebut sendiri.
       Pada umumnya seandainya pun dilakukan pemeriksaan tambahan putusan berdasarkan pengadilan tinggi,pemeriksaan tersebut dilakukan oleh pengadilan negeri yang bersangkutan.
       Hal itu dilakukan dengan maksud untuk menghemat waktu dan biaya, adalah amat sukar bagi pihak-pihak yang bersangkutan apabila harus menghadap pada persidangan pengadilan tinggi yang terletak diibu kota propinsi. Pengadilan tinggi dalam taraf banding akan meneliti apakah pemeriksaan perkara telah dilakukan menurut cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang dengan cukup teliti, selain itu akan diperiksa apakah putasan yang telah dijatuhkan  oleh hakim pertama sudah tepat dan benar, atau putusan itu adalah salah sama sekali kurang tepat. Dalam hal putusan telah dianggap benar, putusan pengadilan negeri akan dikuatkan. Apabila putusan tersebut dianggap salah, putusan akan dibatalkan dan pengadilan tinggi akan memberi peradilan sendiri, dengan lain perkataan, akan memberi putusan yang lain, yang berbeda dengan putusan pengadilan negeri. Adakalanya, bahwa putusan tersebut dianggap kurang tepat, sehingga putusan tersebut harus diperbaiki.
      Diatas telah disinggung, bahwa adakalanya, bahwa pemeriksaan perkara kurang lengkap, sehingga perlu diperbaiki, dalam hal itu berkas perkara akan dikirim kembali kepada pengadilan negeri yang bersangkutan untuk dilengkapi atau pengadilan tinggi akan melaksanakan pemeriksaan tambahan sendiri.
       Untuk memerintahkan hal itu akan dijatuhkan suatu putusan sela, yang dengan jelas memuat hal-hal yang dianggap kurang dan perlu ditambah pemeriksaannya.
Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak menerima suatu putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu atau menganggap putusan ini kurang benar dan kurang adil, maka ia dapat mengajukan permohonan banding. ia dapat mengajukan perkara yang telah diputuskan itu kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk memintakan pemeriksaan ulang. Asas peradilan dalam dua tingkat itu bersandarkan pada keyakinan bahwa putusan pengadilan dalam tingkat pertama itu belum tentu tepat atau benar dan oleh karena itu perlu dimungkinkan pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi.

B.  DASAR HUKUM MENGENAI BANDING
Perlu kiranya mendapat perhatian bahwa tentang hal banding dalam perkara perdata dan pidana berbeda peraturannya. aturan banding dalam perkara pidana semula diatur dalam pasal 350 sampai 356 HIR yang kemudian dicabut oleh S. 1932 no.460 jo. 580, sehingga hanya tinggal ketentuan yang diatur dalam Reglement op de strafvordering voor de raden van justitie op Java en het hooggerectshof van indonesia (ps. 282 dan seterusnya). Sekarang hal banding dalam perkara pidana diatur dalam KUHAP pasal 67,87,233-243 KUHAP.
            Bagi perkara perdata hal banding semula diatur dalam pasal 188 sampai dengan 194 HIR. tetapi dengan adanya pasal 3 jo. 5 Uudasar 1/1951 pasal-pasal tersebut sekarang tidak berlaku lagi. dan yang sekarang berlaku ialah UU. 20/1947 untuk Jawa dan Madura, sedang untuk daerah luar jawa dan madura ialah pasal 199 sampai dengan 205. kita lihat bahwa ketentuan mengenai banding masih pluralistis.
            Permohonan banding dapat di ajukan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak. Hal itu berarti, bahwa pihak yang dikalahkan dengan putusan pengadilan dapat mengajukan permohonan banding. Dalam hal gugat dikabulkan, untuk sebagian (dan untuk bagian yang lain atau yang selebihnya di tolak), atau dalam hal telah diajukan gugat balasan, dan baik gugat asal, maupun gugat balik, duaduanya dikabulkan atau ditolak, maka kedua belah pihak dapat mengajukan permohonan banding, dengan lain perkataan permohonan banding yang diajukan oleh salah satu pihak, tidak menutup kemungkinan bagi pihak yang lain untuk mengajukan permohonan banding juga.
       Pasal 6 tersebut juga menyebutkan bahwa yang bisa mengajukan permohonan banding adalah pihak yang berkepentingan. Hal ini berarti, bahwa pihak yang dikalahkan yaitu yang gugatannya ditolak atau dikabulkan sebagaian atau yang gugatannya dinyatakan tidak dapat diterima, yang dpat mengajukan permohonan banding. Bagaimana apabila permohonan banding justru diajukan oleh pihak yang menang, serta permohonan banding dapat diterima? Misalnya dalam hal gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, lalu pihak tergugat dengan maksud untuk menutup, kemungkinan pengajuan gugat baru dalam waktu yang dekat, kemudian tergugat yang menang itu, dengan maksud yang buruk, mengajukan permohonan banding, apakah permohonan banding tersebut dapat diterima?
       Apabila ditinjau dari maksud pembuat undang-undang dengan mengadakan lembaga banding seperti dikemukakan diatas, permohonan banding semacam diatas, harus dinyatakan tidak dapat diterima, oleh karena itu diajukan oleh seorang yang tidak berkepentingan. Menurut penulis yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan adalah pihak yang oleh utusan pengadilan Negeri dikalahkan, dan bukan pihak yang dimenangkan, oleh karena itu permohonan banding yang diajukan oleh pihak yang menang dengan maksud untuk mengundur waktu atau dengan maksud jahat yang lain tidak dapat diterima dalam hal ini telah diajukan gugat balik, maka apabila baik gugat pasal maupun gugat balik dinyatakan tidak dapat diterima, maka oleh karena kedua belah pihak adalah pihak yang dikalahkan kedua belah pihak atau salah satu pihak dapat mengajukan permohonan banding. Perkataan diulangi menunjukkan bahwa perkara tersebut menjadi mentah kembali. Diatas telah dikemukakan, bahwa pemeriksaan perkara tidak diulangia dengan nyata, artinya pihak-pihak dan saksi-saksinya tidak diperiksa lagi, melainkan perkataan diulangi berartim bahwa pemeriksaan dilakukan dari mulai pengajuan gugat sampai putusan dijathkan, dengan lain perkataan semua surat-surat bukti, utusan Pengadilan Negeri dibaca dengan teliti lagi, semua segi pemeriksaan diulang, baik yang mengenai yang duduknya perkara (fakta), maupun yang mengenai penerapan hukumnya oleh seorang hakim tinggi sebagia hakim tunggal atau oleh suatu majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim tinggi.
       Pemeriksaan banding dilakukan oleh pengadilan tinggi yang berkuasa dalam hukumnya masing-masing, dengan lain perkataan apabila suatu perkara diputuskan oleh pengadilan negeri di bandunng, maka pengadilan tinggi tidak dibandunglah yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara tersebut bukan dipengadilan tinggi di medan. Pasal 7 undang-undang No.20 tahun 1947 memuat ketentuan, bahwa permohonan untuk pemeriksaan banding harus disampaikan dengan surat atau lisan kepada panitera pengadilan tinggi negeri yang menjatuhkan putusan itu.
       Hal itu berarti, bahwa permohonan banding dapat diajukan sendiri oleh pihak yang telah diberikan kuasa khusus untuk mengajukan permohonan banding. Kuasa tersebut sewaktu mengajukan permohonan banding, harus sudah memiliki surat kuasa khusus, dengan lain perkataan tanggal pemberian kuasa khusus itu lebih mudah dari tanggal pengajuan permohonan banding, setidak-tidaknya tanggalnya harus sama. Pengajuan permohonan banding, oleh kuasa berdasarkan surat kuasa umum, seandainya pun surat kuasa itu telah dibuat di hadapan seorang notaris, tidak dapat diterima oleh pengadilan tinggi. Bagi pengajuan permohonan banding oleh kuasa, surat kuasa khusus adalah suatu syarat mutlak. Apabila pihak yang berkepentingan itu telah lupa untuk memberikan surat kuasa khusus kepada kuasanya, atau dalam surat kuasa khusus tersebut terdapat kesalahan, maka permohonan banding dapat diterima, asalkan surat kuasa yang dipergunakan dipengadilan negeri, yang dalam praktek suka juga disebutkan surat kuasa dasar, mencakup, dengan lain perkataan memuat pemberian kuasa juga untuk mengajukan permohonan banding. Permohonan banding tersebut dapat diterima, oleh karena dianggap telah diajukan berdasarkan surat kuasa dasar itu. Dalam praktek suka pula dibuatkan kesalahan, yang tidak dapat dimaafkan, bahwa seorang kuasa yang telah diberikan kuasa dengan lisan dipersidangan pengadilan negeri  sewaktu perkara tersebut  diperiksa mengajukan permohonan banding lagi kleinnya, tanpa adanya surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan banding. Permohonana banding secara demikian itu tidak memiliki kekuasa untuk melakukan tindakan tersebut. Permohonan bandinng yang dapat diajukan oleh seorang kuasa yang telah diberi kuasa lisan dipersidangan, dapat diterima, apabila pada waktu pemberian kuasa dipersidangan itu dengan tegas-tegas. Disebut bahwa pemberian kuasa itu mencakup pemberian kuasa untuk mengajukan permohonan banding, hal mana harus dimuat dalam berita acara sidang yang dibuat oleh pengadilan negeri. Suka pula menjadi persoalan apabila surat kuasa dasar, ialah surat kuasa yang dipergunakan dipengadilan negeri, telah disubtitusikan, dilimpahkan kelain orang. Oleh karena surat kuasa telah dilimpahkan keseluruhannya, kuasa yang pertama tidak memiliki hak lagi untuk mewakili pemberian  kuasa, dan permohonan banding diajukan oleh yang bersangkutan, karena diajukan oleh seorang yang tidak mempunyai wewenang lagi untuk melakukan tindakan tersebut, harus dinyatakan tidak dapat diterima.  
       Dapat juga surat kuasa dilimpahkan untuk sebagian, misalnya khusus untuk mewakili yang bersangkutan untuk siding pada hari atau tanggal sekian. Dalam hal semacam itu, maka oleh karena pemberian kuasa yang selainnya telah tidak dilimpahkan, maka kuasa yang semula tetap berhak untuk mengajukan permohonan banding, asalkan syarat-syarat lain sebagaimana disebut diatas terpenuhi. Oleh karena banyak kesalahan terjadi dalam praktek, juga menyangkut permohonan bandung oleh orang-orang yang berpengalaman, sebaliknya permohonan banding diajukan sendiri oleh pihak yang berkepentingan.
       Permohonan banding supaya dapat diterima diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan. Pasal 7 (1) dan (2) undang-undang No.20 tahun 1947, menyatakan bahwa permohonan banding harus diajukan tenggang waktu 14 hari dihitung mulai berikutnya dari pengumuman putusan kepada yang berkepentingan. Bagi pemohon banding yang tidak berdiam dalam keresiden tempat pengadilan negeri tersebut bersidang, waktu itu dijadikan 30 hari.
       Pada dewasa ini, setelah undang-undang No.14 tahun 1985 tentang mahkamah agung yang berlaku dalam pasal 46 menentukan, bahwa permohonan kasasi dalam perkara perdata harus disampaikan secara tertulis atau secara lisan melalui panitera pengadilan tingkat pertama yang telah memutuskan perkaranya, dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada pemohon, yang berlaku untuk seluruh pelosok tanah air dan menggantikan undang-undang mahkamah agung No. 1 tahun 1950, yang dalam pasal 113 (1) menyatakan, bahwa pemohonan kasasi untuk jawa dan Madura harus diajukan dalam tempo 3 minggu sedang diluar jawa dan Madura dalam tempo 6 minggu yang sekarang sudah tidak berlaku lagi. Patut dipertanyakan tenggang waktu mengajukan permohonan banding, dalam praktek masih dibedakan antara pemohon yang berdiam di dalam dan di luar keresidenan, seperti yang diatur dalam pasal 7 undang-undang No.20 tahun 1947 itu. Dapatlah dikemukan, bahwa dalam praktek, justru oleh karena kata keresidenan atau residen, kini sudah tidak dikenal lagi, pula oleh karena menurut pasal 46 undang-undang mahkamah agung No.14 tahun 1985 bahwa permohonan kasasi untuk seluruh indonesia harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksud diberitahukan, maka meskipun pasal 7 undang-undang No.20 tahun 1947 belum pernah dicabut namun dalam praktek semua permohonan banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sesudah putusan pengadilan negeri tersebut diberitahukan kepada yang berkepentingan. Hal itu, oleh karena setelah keresidenan tidak lagi dikenal, maka pasal 7 (2) undang-undang No. 20 tahun 1947 juga tidak bisa diterapkan lagi.
       Sebenarnya masih patut dipermasalahkan mengenai perbedaan redaksi yang terdapat dalam pasal 7 (1) undang-undang No. 20 tahun 1947 dan yang terdapat dalam pasal 46 undang-undang No. 14 tahun 1985. Pasal 1 (1) undang-undang No.20 tahun 1947 menyebutkan’’ 14 hari terhitung mulai berikut hari pengumuman putusan……….’’, sedangkan pasal 46 undang-undang nahkamah agung No.14 tahun 1985 menyebutkan ‘’14 hari sesudah putusan diberitahukan’’. Bukankah apa yang disebutkan dalam kedua pasal itu berbeda 1 hari? Dalam praktek yang berlaku adalah rumusan yang terdapat dalam pasal 46 undang-undang mahkamah agung No. 14 tahun 1985, dan hal itu tidak menimbulkan masalah. Jadi, apabila putusan diberitahukan (atau diumumkan/ dijatuhkan dengan dihadiri oleh pihak yang bersangkutan) pada hari senin,misalnya tanggal 1 februari 1978, maka permohonan banding paling lambat harus diajukan pada hari senin, tanggal 15 februari 1978.
       Dalam hal pemohon banding atau kuasanya tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, maka tenggang waktu tersebut dihitung  sejak hari berikutnya putusan tersebut diberitahukan kepada yang bersangkutan. pemberitahuan putusan ini biasanya dilakukan kepada yang bersangkutan dirumah atau apabila tidak bertemu pemberitahuan dilakukan melalui lurah setempat dan dalam hal tempat tinggal dan tempat tinggal dan tempat kediaman dari yang bersangkuatan tidak diketahui, pemberitahuan keputusan dilakukan dengan cara penempelan dictum putusan tersebut pada papan pengumuman yang untuk itu disediakan dikantor kabupaten, juga kadang-kadang pemberitahuan putusan tersebut dilakukan  melalui surat kabar.

C.  Syarat dan Tata Cara Banding
Syarat untuk dapat dimintakan banding bagi perkara yang telah diputus oleh pengadilan dapat dilihat dalam Pasal 6 UU No. 20/1947 yang menerangkan,apabila besarnya nilai gugat dari perkara yang telah diputus itu lebih dari Rp.100 atau kurang, oleh salah satu pihak dari pihak-pihak yang berkepentingan dapat diminta supaya pemeriksaan itu diullangi oleh pengadilan tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing.
       R. Subekti lebih rinci mengusulkan, hanya perkara yang nilai gugatannya berjumlah Rp.100.000(seratus ribu) atau lebih yang boleh dimintakan banding,alasannya untuk mempercepat tercapainya putusan yang berkekuatan hukum yang tepat.(R. Subekti,1982 :152) .
Sampai saat ini tidak ada batasan nilai gugatan jika pihak-pihak berperkara yang ingin mengajukan banding,karena dalam UU No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama tidak ditemukan batasan nilai gugatan.





BAB IX
KASASI

A. PENGERTIAN
Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ;
Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak berperkara, maka pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan. Setelah pemohon membayar biaya perkara, Panitera Pengadilan Tingkat Pertama mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara. Selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah permohonan kasasi terdaftar, Panitera Pengadilan Dalam Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan itu kepada pihak lawan.
Perlu diingat, dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan kasasi dimaksud dicatat dalam buku daftar. Panitera Pengadilan Tingkat Pertama memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam perkara yang dimaksud dalam waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari. Dalam hal ini, Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada Panitera Pengadilan Tingkat Pertama, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi.
Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori kasasi, Panitera Pengadilan dalam tingkat pertama mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari. Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya, dan melaporkan semua itu kepada Mahkamah Agung.
Adapun pengajuan kasasi dalam perkara pidana tunduk pada ketentuan Pasal 54 UU No.14 Tahun 1985 yang menegaskan, dalam pemeriksaan kasasi untuk perkara pidana digunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Adapun prosedur pengajuan kasasi dalam perkara pidana adalah sebagai berikut ;
Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu.diberitahukan kepada terdakwa. Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara. Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh penuntut umun, atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Apabila tenggang waktu 14 hari telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan. Apabila dalam tenggang waktu 14 hari, pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu gugur. Atas anggapan menerima putusan atau terlambat mengajukan permohonan kasasi, maka panitera mencatat dan membuat akta.mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara.
Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi. Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan. Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya. Perlu diingat, berdasarkan Pasal 247 ayat (4) UU No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali.
Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasinya dan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah mengajukan permohonan tersebut, harus sudah menyerahkannya kepada panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda terima. Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya. Alasan pengajuan kasasi yang dibenarkan secara hukum hanyalah alasan-alasan apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undangundang; atau apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. (Pasal 253 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981)
Apabila dalam tenggang waktu 14 hari setelah menyatakan permohonan kasasi, pemohon terlambat menyerahkan memori kasasi maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur. Tembusan memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh panitera disampaikan kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi. Dalam tenggang waktu 14 hari, panitera menyampaikan tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori kasasi.
Dalam hal salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan dalam memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya diberikan kesempatan untuk mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu 14 hari. Tambahan memori/ kontra kasasi diserahkan kepada panitera pengadilan. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah tenggang waktu permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera pengadilan segera disampaikan kepada Mahkamah Agung.
Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan seperti halnya dalam tingkat banding, atas dasar surat-surat, yaitu terutama putusan, berkas perkara dan risalah-risalah kasasi. Permusyawaratan hakim untuk menentukan putusan dilakukan dalam rapat tertutup, tetapi putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Bagaimana si pemohon kasasi mengetahui tentang sudah diputusnya perkaranya oleh Mahkamah Agung? Pemohon kasasi, akan diberitahu tentang hal tersebut melalui Pengadilan Negeri/ Pengadilan Tingkat Pertama, dalam hal ini Jurusita pada Pengadilan Tingkat Pertama tersebut akan memberitahukan putusan kasasi itu kepada kedua belah pihak yang berperkara.








BAB X
PENINJAUAN KEMBALI

A. PROSEDUR PENINJAUAN KEMBALI
Peninjauan kembali adalah : upaya hukum setelah adanya putusan dr Pengadilan Tingkat Kasasi disertai dng pendapat jika adanya kekhilafan hakim dl penerapan suatu putusan atau adanya bukti-bukti baru/novum yg belum pernah disampaikan dl persidangan (tingkat pertama, banding atau kasasi)
 Permononan peninjauan kembali atas  suatu putusan Pengadilan Agama yang  telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan ke Mahkamah Agung Rl berdasarkan alasan sebagaimana diatur dalam pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagai berikut :
1.   Apabila  Putusan  didasarkan  atas  suatu kebohongan  atau  tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau pada suatu keterangan saksi atau surat-surat bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
2.   Apabila setelah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan, yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat diketemukan.
3.   Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
4.   Apabila mengenai suatu bahagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
5.   Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama, oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang satu dengan lainnya saling bertentangan.
6.   Apabila  dalam  suatu  putusan  terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan lainnya.
Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya yang masih hidup.
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukansatu kali saja. Permohonan peninjauan kembali dalam waktu 180 hari setelah putusan/penetapan mempunyaikekuatan hukum tetap. atau sejak diketemukan bukti-bukti baru atau bukti-bukti adanya penipuan.
Pemohon peninjauan kembali harus membayar biaya kepada Panitera Pengadilan Agama sebesar Rp. 75.000,- sesuai dengan Keputusan Ketua MARl No. K~lA/017/SK/VI/l992 Tanggal lO Juni 1992 dan selanjutnya Panitera mengirimkannya ke Mahkamah Agung RI.
Panitera wajib selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari memberitahukan tentang permohonan peninjauan kembali kepada pihak  lawan dengan memberikan/ mengirimkan salinan permohonan peninjauan kembali serta alasan-alasannya kepada pihak lawan. Pihak lawan dapat mengajukan jawabannya dalam tenggang waktu 30 hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali tersebut.
Setelah jawaban diterima oleh Pengadilan Agama Panitera wajib membubuhi cap, tanggal, hari diterimanya jawaban peninjauan kembali tersebut diatas surat jawaban. Berkas perkara peninjauan kembali bab bukti pembayaran biayanya oleh Panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung dalam waktu 30 hari. Berkas perkara peninjauan kembali yang disampaikan ke Mahkamah Agung RI dijilid/disusun dengan baik, dalam bundel A dan bundel B :
1.   Tertib Berkas Peninjauan Kembali Budel A (milik Pengadilan Agama)
Susunan dan aturan bundel A adalah  sama dengan susunan dan aturan pada bundel A permohonan banding kasasi.
2.   Bundel B (Arsip Mahkamah Agung RI)

Relas pemberitahuan  isi putusan Mahkamah Agung (terutama kepada pemohon peninjauan kembali) atau relaas pemberitahuan isi putusan banding bila ;
1.   Permohomin  peninjauan  kembali  diajukan atas putusan Pengadilan Tinggi Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal  putusan  diucapkan  diluar  hadir  pihak berperkara;
2.   Akta peninjauan kembali;
3.   Surat permohonan peninjauan kembali. dilampiri dengan surat bukti;
4.   Tanda  terima  surat permohonan peninjauan kembali. Surat kuasa khusus bila ada.
5.   Surat pemberitahuan dan penyerahan salinan permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawan.
6.   Jawaban  surat   permohonan  peninjauan kembali.
7.   Salinan resmi Putusan Pengadi1an Agama/Foto copy yang di1ega1isir oleh Panitera.
8.   Salinan resmi Putusan Pengadi1an Tinggi Agama/foto copy yang dilegalisir oleh Panitera.
9.   Salinan Putusan Mahkamah Agung RI/Foto copy yang dilegalisir oleh Panitera.
10.     Tanda bukti setoran biaya dari Bank
11.     Surat-surat lain yang mungkin ada.

B.  REGISTER PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI
Kolom:
1.   Nomor urut
2.   Tanggal permohonan PK.
3.   Nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggal pemohon.
4.   Nomor Perkara:
a.    Pengadilan Agama
b.   Pengadilan Tinggi Agama
c.    Mahkamah Agung RI.
5.   Nama para pihak        
6.   Tanggal pemberitahuan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
7.   Alasan peninjauan kembali (PK), ini ditulis secara jelas dan singkat.
8.   Tanggal pemberitahuan permohonan PK.
9.   Tanggal penerimaan jawaban PK.
10.     TanggaI/nomor surat pengiriman PK.
11.     Tanggal penerimaan kembali berkas PK.
12.     TanggaI/nomor dan amar lengkap putusan PK.
13.     Tanggal penyampaikan salinan putusan PK dari Mahkamah Agung RI.
14.     Tanggal pemberitahuan bunyi putusan PK.
15.     Jenis Perkara PK.
16.     Keterangan lain-lain.

C.  PROSEDUR TEKNIS ADMINISTRASI PERKARA PENINJAUAN KEMBALI PADA PENGADILAN AGAMA
Penerimaan Perkara :
1.   Permohonan Peninjauan Kembali diajukan kepada Petugas Meja I, dalam waktu 180 hari setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak ditemukannya bukti baru. Petugas Meja I menentukan biaya perkara peninjauan kembali.
2.   Petugas Meja I menyerahkan kembali surat permohonan peninjauan kembali dengan dilengkapi SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dibuat rangkap 3 (tiga) :
a.    Lembar pertama untuk Pemohon Peninjauan Kembali.
b.   Lembar kedua untuk Pemegang Kas.
c.    Lembar ketiga dilampirkan dalam surat permohonan banding, berkasnya kemudian diserahkan kepada Pemohon Peninjauan Kembali.
3.   Pemohon Peninjauan Kembali membayar panjar biaya perkara keninjauan kembali yang tercantum dalam SKUM kepada Kasir.
4.   Kasir setelah menerima pembayaran panjar biaya perkara peninjauan kembali,  menandatangani dan membubuhkan cap tanda lunas pada SKUM dan membukukan panjar biaya perkara peninjauan kembali yang tercantum pada SKUM dalam Buku Jurnal Keuangan Perkara Peninjauan Kembali.
5.   Kasir menyampaikan surat permohonan peninjauan kembali yang dilengkapi SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dengan cap tanda lunas kepada Panitera.
6.   Kasir mengirimkan biaya permohonan peninjauan kembali kepada Bank BRI Cabang Veteran, Jl. Veteran No. 8 Jakarta Pusat, pada rekening Mahkamah Agung.
7.   Panitera membuat Akta Permohonan Peninjauan Kembali sebagai tanda diterimanya permohonan peninjauan kembali dan dilampirkan pada berkas perkara peninjauan kembali.
8.   Panitera memerintahkan Petugas Buku Register di Meja II untuk mencatat perkara peninjauan kembali dalam Buku Register Permohonan Peninjauan Kembali.
9.   Petugas Meja II mencatat perkara tersebut dalam Buku Register Permohonan Peninjauan Kembali dan Buku Register Induk Perkara Gugatan.
10.     Panitera dalam waktu 14 (empat belas) hari memberitahukan adanya permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawan (Termohon Peninjauan Kembali) dengan memberikan salinan permohonan peninjauan kembali beserta alasan-alasannya, dengan cara menyerahkan Instrumen PBT / Pemberitahuan Perkara Peninjauan Kembali kepada Juru Sita Pengganti melalui Petugas Meja III.
11.     Petugas Meja III menyerahkan Instrumen PBT tersebut kepada Juru Sita Pengganti untuk melaksanakan pemberitahuan berdasarkan giliran yang telah ditetapkannya atas nama Panitera.
12.     Juru Sita Pengganti datang kepada Kasir dengan menunjukkan instrumen PBT untuk minta biaya pemberitahuan.
13.     Juru Sita Pengganti menyampaikan relaas pemberitahuan permohonan peninjauan kembali kepada Termohon Peninjauan Kembali.
14.     Juru Sita Pengganti menyampaikan hasil relaas pemberitahuan permohonan peninjauan kembali kepada Panitera Pengadilan melalui Petugas Meja III.
15.     Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan / alasan pemberitahuan peninjauan kembali diterima, Termohon Peninjauan Kembali harus mengajukan jawaban dengan menyerahkannya kepada Petugas Meja III untuk diteruskan kepada Panitera.
16.     Surat Jawaban atas permohonan dan alasan peninjauan kembali yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama harus dibubuhi hari dan tanggal penerimaan di atas Surat Jawaban tersebut.
17.     Panitera mengirimkan berkas perkara kasasi (bendel A dan B) ke Mahkamah Agung dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Surat Jawaban diajukan.
18.     Apabila permohonan peninjauan kembali telah diputus oleh Mahkamah Agung, salinan putusan dan bundel A dikirimkan oleh Mahkamah Agung kepada Pengadilan Agama, dengan surat pengantar yang tembusannya dikirim kepada pihak Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi.
19.     Setelah salinan putusan dan bundel A diterima oleh Panitera, salinan putusan tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama.
20.     Ketua Pengadilan Agama harus membaca salinan putusan peninjauan kembali dengan cermat dan teliti sebelum disampaikan kepada para pihak, kemudian dikembalikan kepada Panitera. 
21.     Panitera menyerahkan Instrumen PBT Amar Putusan Mahkamah Agung kepada Juru Sita Pengganti (JSP) melalui Petugas Meja III untuk dilakukan pemberitahuan kepada Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali, dengan cara seperti langkah ke 10 s/d 14.