BAB I
PENGADILAN
A.
PENDAHULUAN
Pengadilan Agama merupakan kerangka sistim dan tata
hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk
mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang
diamanatkan oleh UU No. 14/1970 diperlukan adanya perombakan yang bersifat
mendasar terhadap segala perundang-undangan yang mengatur Badan Peradilan Agama
tersebut.
Berlakunya UU No. 7/1989, secara konstitusional
Pengadilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan yang disebut dalam pasal
24 UUD 1945. Kedudukan dan kewenangannya adalah sebagai Peradilan Negara dan
sama derajatnya dengan Peradilan lainnya, mengenai fungsi Peradilan Agama
dibina dan diawasi oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi,
sedangkan menurut pasal 11 (1) UU No. 14/1970 mengenai Organisasi, Administrasi
dan Finansiil dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan.
Suasana dan peran Pengadilan Agama pada masa ini
tidaklah berbeda dengan masa kemerdekaan atau sebelumnya karena Yurisdiknya
tetap kabur baik dibidang perkawinan maupun dibidang waris. Hukum Acara yang
berlaku tidaklah menentu masih beraneka ragam dalam bentuk peraturan
perundang-undangan bahkan juga hukum acara dalam hukum tidak tertulis yaitu
hukum formal Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan.
Pada tahun 1989 lahirlah UU No.7 tahun 1989 yang
diberlakukannya tanggal 29 Desember 1989, kelahiran undang-undang tersebut
tidaklah mudah sebagaimana yang diharapkan akan tetapi penuh perjuangan dan
tantangan dengan lahirnya UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah
sebagi tonggak monumen sejarah Pengadilan Agama terhitung tanggal 29 Desember
1989 tersebut.
Lahirnya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
telah mempertegas kedudukan dan kekuasaan Peradilan Agama sebagaimana dimaksud
dalam pasal 10 UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman juga memurnikan fungsi dan susunan organisasinya agar dapat mencapai
tingkat sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang sebenarnya tidaklah lumpuh dan
semu sebagaimana masa sebelumnya. Disamping itu lahirnya UU tersebut
menciptakan kesatuan hukum Peradilan Agama dan tidak lagi berbeda-beda
kewenangan dimasing-masing daerah di lingkungan Peradilan Agama. Peradilan
Agama baik di Jawa-Madura maupun diluar Jawa-Madura adalah sama kedudukan dan
kewenangan baik hukum formil maupun materiilnya. Dengan demikian Peradilan
Agama telah sama kedudukannya dengan Peradilan lainnya sebagaimana dalam pasal 10 (1) UU No.14 Tahun 1970.
B.
PENGERTIAN PENGADILAN
Tugas pengadilan agama bukan sekedar memutus perkara
melainkan menyelesaikan sengketa sehingga terwujud pulihnya kedamaian antara
pihak-pihak yang bersengketa, tercipta adanya rassa keadilan pada masing-masing
pihak yang berperkara, dan terwujud pula tegaknya hukum dan kebenaran pada perkara yang diperiksa dan diputus tersebut. Sebagai
Peradilan yang Court of Law mempunyai ciri-ciri antara lain :
1.
Hukum Acara dan Minutasi
dilaksanakan dengan baik dan benar.
2.
Tertib dalam melaksanakan
administrasi perkara.
3.
Putusan dilaksanakan sendiri oleh
Peradilan yang memutus.
4.
Dengan berlakunya UU No. 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
Sesuai dengan pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 adalah :
Pengadilan Agama bertugan dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
dibidang:
Perkawinan,Waris,Wasiat,Hibah, Wakaf,Zakat, Infaq,Shodaqoh,Ekonomi Syariah.
Perkawinan,Waris,Wasiat,Hibah, Wakaf,Zakat, Infaq,Shodaqoh,Ekonomi Syariah.
Salah satu kewenangan Pengadilan Agama adalah
menyelesaikan sengketa ekonomi Syari’ah. Berdasarkan Pasal 49 UU No.3 Tahun
2006 yang menyatakan bahwa : “ pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragam Islam.
Berdasarkan ketentuan pasal 49 tersebut Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sodaqah, dan ekonomi
syari’ah. Oleh sebab itu, terhituing mulai tanggal 20 Maret 2006 penyelesaian
perkara ekonomi syariah menjadi kewenangan absolute Pengadilan Agama.
Dengan berpegang pada asas-asas proses penyelesaian
perkara yang baik (A2 P3 B), hakim memeriksa perkara dengan perpedoman pada
hukum acara perdata yang ada dengan sedikit penyesuaian dengan karakteristik
sengketa ekonomi syari`ah. Proses peradilannya dilakukan sesuai tata cara dalam
hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan agama.
Proses penyelesaian perkara ekonomi syari`ah dilakukan
hakim dengan tata cara urutan sebagai berikut :
1.
Hakim memeriksa apakah syarat
administrasi perkara telah tercukupi atau belum. Administrasi perkara ini
meliputi berkas perkara yang di dalamnya telah ada panjar biaya perkara, nomor
perkara, penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera siding. Apabila
syarat tersebut belum lengkap maka berkas dikembalikan ke kepaniteraan untuk
dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan
memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam
sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari
Sidang (PHS).
2.
Hakim memeriksa syarat formil
perkara yang meliputi kompetensi and kecakapan penggugat, kompetensi Pengadilan
Agama baik secara absolute maupun relative, ketepatan penggugat menentukan
tergugat, surat gugatan tidak obscuur, perkara yang akan diperiksa belum pernah
diputusoleh pengadilan dengan putusan yang sudah berkekuatan hokum tetap, tidak
terlalu dini, tidak terlambat dan tidak dilarang oleh Undang undang untuk
diperiksa dan diadili oleh Undang –undang. Apabila ternyata para pihak
telahterikat dengan perjanjian arbitrase maka pengadilan agama tidak berwenang
memeriksa dan mengadilinya ( pasal 3 UU No.30 Tahun 1999 ).
3.
Apabila syarat formil telah dipenuhi
maka hakim dapat melanjutkan pemeriksaan pokok perkara. Dalam sidang ini tugas
utama hakim adalah mendamaikan kedua belah pihak sesuai dengan PERMA No.2 Tahun
2003 dan PERMA No.1 Tahun 2002. Apabila tercapai perdamaian maka dibuat akta
perdamaian, bila tidak dilanjutkan ke tahap berikutnya.
4.
Hakim melakukan konstatiring
terhadap dalil dalil gugat dan bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat
gugatan, jawaban tergugat, replik, duplik dan pembuktian.
5.
Hakim melakukan kualifisiring
melalui kesimpulan para pihak dan musyawarah hakim.
6.
Hakim melakukan konstituiring yang dituangkan
dalam surat putusan.
C.
KENDALA-KENDALA DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA EKONOMI
SYARI`AH MELALUI PENGADILAN AGAMA
1.
Dalam rangka memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat harus dapat menyelesaikan
kendala-kendala yang terjadi dalam Praktik peradilan penyelesaian sengketa ekonomi
syari`ah, antara lain:
Belum adanya perangkat hokum yang memadai sebagai acuan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari`ah dalan pengadilan agama.
Belum adanya perangkat hokum yang memadai sebagai acuan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari`ah dalan pengadilan agama.
2.
Penerapan asas siding terbuka untuk
umum dalam penyelesaian sengketa.
3.
Penerapan hokum materiil dan hokum
acara yang terlalu formal dan kaku.
4.
Tidak adanya komunikasi timbal balik
yang harmonis dan fleksibel antara hakim dengan para pihak dan diantara para
pihak tidak adanya sistem negosiasi dan konsiliasi dalam proses penyelesaian
sengketa.
5.
Sikap, pandangan dan pendapat para advokat
yang mendampingi kliennya belum tentu sejalan dengan sikap,pandangan dan
pendapat pengadilan agama dalam pembaharuan paradigma peradilan yang modern,
mandiri dan professional.
BAB
II
GUGATAN
A. PENGERTIAN
Gugatan adalah suatu surat yang di ajukan oleh
penguasa pada ketua pengadilan agama yang erwenag, yang memuat tuntutan hak
yang didalamnya mengandung suatu sengketa dan merupakan landasan dasar
pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran suatu hak.
Permohonan adalah suatu surat permohonan yang
didalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan
terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga badan peradilan
yang mengadili dapat dianggap suatu proses peradilan yang bukan sebenarnya.
Jadi perbedaan dari gugatan dan permohonan adalah
bahwa permohona itu tuntutan hak perdata yang didalam kepentingannya itu bukan
suatu perkara sedangkan gugatan adalah surat yang diajukan oleh penggugat terhadap
tergugat yang menuntut tuntutan hak yang yang didalamnya berisi suatu perkara.
Alam gugatan inilah yang disebut dengan pengadilan yang sesungguhnya dan produk
hokum yang dihasilkan adalah putusan hokum.Perbedaan Perkara voluntair Dan
Contentieus Sebelum saya
membahas apa itu perkara voluntair dan contentious saya akan menjelaskan apa
itu yang disebut voluntair dan contentious.
1.
Voluntair juga disebut juga dengan
permohonan, yaitu permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan
yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang ditunjukan kepada ketua
pengadilan. Permohonan ini merupakan kepentingan sepihak dari pemohon yang
tidak mengandung sengketa dengan pihak lain. Ciri dari voluntair ini
diantaranya:
Masalah yang diajukan berisi kepentingan sepihak.
Masalah yang diajukan berisi kepentingan sepihak.
2.
Permasalah yang diselesaikan di
pengadilan biasanya tidak mengandung sengketa.
3.
Tidak ada pihak lain atau pihak
ketiga yang dijadikan lawan
Sedangkan contentious adalah perdata yang mengandung sengketa diantara pihak yang berpekara yang pemeriksaan penyelesaiannya diajukan dan diajukan kepada pengadilan, dimana pihak yang mengajukan gugatan disebut dan bertindak sebagia tergugat. Ciri – ciri dari contentieus ini diantaranya:
Sedangkan contentious adalah perdata yang mengandung sengketa diantara pihak yang berpekara yang pemeriksaan penyelesaiannya diajukan dan diajukan kepada pengadilan, dimana pihak yang mengajukan gugatan disebut dan bertindak sebagia tergugat. Ciri – ciri dari contentieus ini diantaranya:
a)
Ada pihak yang bertindak sebagai
penggugat dan tergugat.
b)
Pokok permasalahan hokum yang
diajukan mengandung sengketa diantara para pihak.
Perbedaan
Antara Voluntair dan Contentieus
1.
Contentieus
a)
Para pihak terdiri dari penggugat
dan tergugat.
b)
Aktifitas hakim yang memeriksa hanya
terbatas pada apa yang diperkerakan untuk diputuskan.
c)
Hakim hanya memperhatikan dan
menerapkan apa yang telah di tentukan undang-undang dan tidak berada dalam
tekanan atau pengaruh siapapun.
d)
Kekuatan mengikat, keputusan hakim
hanya mempunyai kekuaan men gikat kepada para pihak yang bersengketa dan
keterangan saksi yang diperiksa atau didengarkan keterangannya.
2.
Voluntair
a)
Pihak yang mengajukan hanya terdiri
dari satu pihak saja.
b)
Aktifitas hakim lebih dari apa yang
dimihinkan oleh pihak yang bermohon karena hanya bersifat administrative.
c)
Hakim mempunyai kebebasan atau
kebijaksanaan untuk mengatur sesuatu hal.
d)
Keputusan hakim mengikat terhadap
semua orang.
Setelah kita membicarakan perbedaan antara voluntair
dan contetieus maka selanjutnya saya akan menjelaskan tatacara bagaimana mengajukan
gugatan atau permohonan. Tahapan
–tahapan tersebut yaitu:
1.
Tahap Persiapan
Sebelum mengajukan permohonan atau gugatan ke
pengadilan perlu diperhatika hal-hal sebagai berikut:
a.
Pihak yang berpekara setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat menjadi pihak dalam berpekara
di pengadilan.
b.
Kuasa: Pihak yang
berpekara di pengadilan dapat menghadapi dan menghadiri pemeriksaan persidangan
sendiri atau mewakilkan kepada orang lain untuk menghadiri persidangan di
pengadilan.
c.
Kewenangan pengadilan: kewenangan relative dan kewenangan
absolut harus diperhatikan sebelum membuat
permomohan atau gugatan yang di ajukan ke pengadilan.
2.
Tahap pembuatan permohonan atau
gugatan
permohonan atau gugatan pada
prinsipnya secara tertulis (pasal 18 HIR) namun para pihak tidak bisa baca
tulis (buta huruf) permohonan atau gugatan dapat dilimpahkan kepada hakim untuk
disusun permohonan gugatan keudian dibacakan dan diterangkan maksud dan isinya
kepada pihak kemudian ditandatangani olehketua pengadilan agama hakim yang
ditunjuk berdasarkan pasal 120 HIR.
Membuat permohonan pada dasarnya, identitas pemohon, urain
kejadian. Permohonan isi gugatan
secara garis besar memuat hal-hal sebagai berikut:
Mengenai isi gugatan atau permohonan UU. NO 7 Tahun
1989 maupun dalam HIR atau Rbg tidak
mengatur, karena itu diambil dari ketentuan pasal 8 NO. 3 RV yang mengatakan
bahwa isi gugatan pada pokoknya memuat tiga hal yaitu:
a.
Identitas para pihak: Identitas para phak meliputi nama, umur, pekerjaan,
agama, kewarganegaraan.
b.
Posita: Berisi
uraian kejadian atau fakta-fakta yang menjadi dasar adanya sengketa yang
terjadi dan hubungan hokum yang menjadi dasar gugtan.
c.
Petitium: Petitium atau tuntutan berisi rincian apa saja yag
diminta dan diharapkan penggugat untuk dinyatakan dalam putusan atau penetapan
para kepada para pih.ak terutama pihak tergughat dalam putusan perkara
3.
Tahap pendaftaran pemohon atau
gugatan
Setelah permohonan atau gugatan dibuat kemudian
didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agam yang berwenang memeriksa dengan
membayar biaya panjar perkara. Dengan membayar biaya panjar perkara maka
penggugat atau pemohon mendapatkan nomor perkara dan tinggal menunggu panggilan
siding.
Perkara yang telah terdaftar di pengadilan agama oleh
panitera diampaikan kepada ketua pengadilan agama untuk dapat menunjuk majelis
hakim yang memeriksa, memutus, dan mengadili perkara dengan suatu penetapan ya
g disebut penetapan majelis hokum (PMH) yang terdiri satu orang hakim sebagai
ketua majelis dan dua orang hakim sebagai hakim anggota serta panitera siding.
Apabila belum ditetapkan panitera yang ditunjuk, majelis hakim dapat menunjuk
panitera siding sendiri.
4.
Tahap pemeriksaan permohonan atau
gugatan
Pada hari sidang telah ditentukan apabila satu pihak
atai kedua belah pihak tidak hadir maka persidangan ditunda dan menetapkan hari
sidang berikutnya kepada yang hadir diperintahkan menghadiri sidang berikutnya
tanpa dipanggil dan yang tidak hadir dilakukan pemanggilan sekali lagi.
Dalam praktek pemanggilan pihak yang tidak hadir
dilakukan maksimal tiga kali apabila: penggugat
tidak hadir maka gugatan gugur
a.
Tergugat tidak hadir maka
pemeriksaan dilanjutkan dengan putusan verstek atau putusan tanpa hadirnya
pihak tergugat.
b.
Apabial terdapat beberapa tergugat
yang hadir ada yang tidak hadir, pemeriksaan tetap dilakukan dan kepada yang
tidak hadir dianggap tidak menggunakan haknya untuk membela diri.
c.
Penggugat dan tergugat hadir, maka Pemeriksaan dilanjutkan sesuai dengan hukum yang
berlaku.
Dalam pemeriksaan perkara pengadilan akan disampaikan dalam
ilustrasi berikut ini :
a)
Apabila penggugat dan tergugat hadir
maka mula-mula majelis hakim memasuki ruang persidangan diikuti panitera
sidang. Majelis memanggil para pihak untuk masuk ke persidangan dan ketua
membuka persidangan dengan menyatakan “sidang dibuka dan terbuka untuk umum
(apabila sidang terbuka untuk umum) dan jika sidang dibuka dan tertutup untuk
umum (apabila sidang terbuka itu tertutup untuk umum).
b)
Hakim menanyakan identitas para
pihak baik pihak penggugat atau tergugat.
c)
Hakim mengupayakan perdamaian pada
para pihak dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berdamai dan
menetapkan hari sidang berikutnya tanpa dipanggil.
d) Apabila
kedua belah pihak berdamai, maka dibuat akta perdamaian yang kekuatan hukumnya
samutusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga dapat dilaksanakan
esekusi.
e)
Apabila tidak tercapai perdamaian
maka dinyatakan kepada penggugat ada perubahan gugatan atau tidak, kalau ada
maka persidangan ditunda pada persidangan berikutnya untuk perubahan atau
perbaikan gugatan dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang hadir
dalam sidang berikutnya untuk hadir tanpa di panggil.
f)
Apabila tidak ada perubahan atau
sudah ada perubahan gugatan, maka sidang dilanjutkan dengan pembacaan gugatan.
Setelah pembacaan gugatan hakim memberikan kesempatan kepada tergugat untuk
mengajukan pertanyaan, kemudian sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada
tergugat menyususn jawaban dengan menetapkan hari sidang dan memerintahkan yang
hadir untuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa pengadilan.
g)
Dalam sidang selanjutnya jawaban
dibacakan dan penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan replik, kemudian
sidang ditunda untuk memberi kesempatan kepada penggugat menyusun replik dengan
menetapkan hari sidang dan memerintahkan untuk hadir dalam sidang berikutnya
tanpa dipanggil.
h)
Sidang selanjtnya replik dibacakan
tergugat diberikan kesempatan untuk mengajukan duplik, kemudian tergugat diberi
kesempatan untuk menyususn duplik dengan menetapkan hari sidang berikutnya dan
memerintahkan utuk hadir dalam sidang berikutnya tanpa dipanggil.
i)
Sidang selanjutnya duplik dibacakan
kemudian pihak penggugat diberi kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti untuk
memperkuat dalil-dalil gugatannya, kemudian sidang ditunda untuk memberikan
kesempatan kepada penggugat menyampaikan bukti-bukti dengan menetapkan hari
sidang berikutnya dan memerintahkan yang hadir untuk hadir dalam sidang
berikutnya tanpa dipanggil.
j)
Sidang selanjutnya setelah penggugat
mengajukan bukti-bukti tergugat di beri kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti
untuk menguatkan dalil-dalail sanggahannya, kemudian sidang ditunda untuk
memebri kesempatan kepada tergugatuntuk pembuktian.
k)
Sidang selanjutnya setelah
pembuktian tergugat selesai kemudian sidang ditunda untiuk memberi kesempatan
kepada penggugat dan tergugat menyususn kesimpulan.
l)
Sidang selanjtnya penggugat dan
tergugat menyampaikan kesimpulan, kemudian sidang ditunda untuk musyawarah hakim
untuk menjatuhkan putusan.
m) Dalam sidang
selanjutnya, putusan dibacakan oleh ketua majelis hakim dan kepada pihak yang
tidak puas dapat mengajukan upaya hukum banding.
BAB III
PERSIDANGAN
A. PENGERTIAN
Persidangan adalah sebuah media atau tempat untuk
merumuskan suatu permasalahan yang muncul dalam suatu komunitas yang didalamnya
mutlak terdapat beberapa perbedaan faham dan kepentingan yang dimilikinya.
Persidangan juga dibuat dalam rangka merumuskan hal-hal yang menjadi kebutuhan
sebuah kelompok/organisasi dalam menjalankan tata kerja organisasi tersebut.
Persidangan itu sendiri dibuat melalui mekanisme-mekanisme yang telah dibuat
sebelumnya.
Mekanisme yang ada didalam persidangan ini berfungsi
untuk menjaga keteraturan setiap elemen yang ada didalam sidang tersebut agar
persidangan dapat berjalan lancar secara harmonis dan kondusif.
Demi kelancaran sebuah persidangan, hendaknya didukung
oleh beberapa perangkat-perangkat yang ada didalamnya, diantaranya adalah :
1.
Pimpinan siding adalah Pimpinan
sidang adalah orang-orang yang telah ditunjuk sebelumnya oleh peserta sidang
yang mempunyai tugas untuk mengarahkan sidang dan ,menetapkan hasil keputusan
yang telah disepakati oleh seluruh peserta sidang. Pimpinan sidang biasanya
terdiri dari 3 (tiga) orang, yakni pimpinan sidang ketua; pimpinan sidang
sekretaris (notulen) yang bertugas untuk mencatat segala ketetapan yang telah
disepakati dalam persidangan untuk kemudian diarsipkan; dan pimpinan sidang
anggota yang mendampingi kedua pimpinan sidang ketua dan pimpinan sidang
sekretaris.
2.
Materi sidang adalah materi/konsep
permasalahan yang akan dibahas didalam persidangan. Materi ini merupakan
rangkuman dari beberapa pokok-pokok permasalahan yang ada dalam tubuh organisasi
tersebut.
3.
Peserta sidang adalah peserta yang
mengikuti proses persidangan yang merupakan anggota dari organisasi tersebut.
Peserta sidang ini nantinya merupakan penentu setiap kebijakan/keputusan dari
permasalahan yang dibahas dalam persidangan.
Perangkat pendukung lainnya adalah palu siding, alat
tulis menulis dan pengeras suara. Adapun
beberapa jenis ketukan palu sidang yang dilakukan oleh pimpinan sidang ketua
yakni : ketukan palu 1 kali, dilakukan untuk menyepakati keputusan forum.
ketukan palu 2 kali, dilakukan untuk menskorsing/pending siding. ketukan palu 3
kali, dilakukan untuk menetapkan hasil keputusan forum (konsideran) dari tiap
agenda sidang.
B. RUANG SIDANG
Sehubungan dangan tata ruang persidangan di lingkungan
Peradilan Agama, ada kajian ulama yang dijadikan bahan pemikiran untuk
mewujudkan tata ruang sidang yang ideal, sebagaimana yang disebutkan dalam
kitap Qulyuby wa ‘Umairah Juz IV halaman 302:
(وَيُسْتَحَبُّ
كَزنُ مَجْلِسُهُ فَسِيْحَا) اَىْ وَاسِعَا لِعَلاَّ يَتَآذَّى بِضَيِّقَةِ اَلْحَاضِرُونَ
(بَارِزَا ) اى ظَاهِرَا لِيَعْرِفُهُ مَنْ يَرَاهُ (مصونامن اذى حر وبرد) وريح
وطهارو دخنان (لائقا باالوق ت) من صيف وشتاء.
(وقضاء) بان
يكون دارا (لامسجدا) فيكره اتخاذه مجلسا للحكم فى الا صح صونا له عن ارتفاع
الاصوات واللفظا الواقعين بمجلس القضاء عادة
Keadaan ruang sidang diutamakan harus luas, agar
pihak-pihak yang hadir dalam persidangan tidak merasa sempit, disamping itu
harus menonjol agar diketahui oleh orang-orang yang akan menyaksikan jalannya
persidangan, dan juga harus terlingdung dari gangguan yang disebabkan oleh
panas, dingin, kotoran dan sebagainya sesuai dengan keadaan musim yang sedang
terjadi.
Dan ruang sidang hendaknnya berupa bangunan
tersendiri, bukan mesjid. Berdasarkan pendapat yang kuat, hukumnya makruh
apabila mesjid digunakan untuk bersidang memutuskan perkara, hal ini untuk
menjaga mesjid dari suara-suara keras dan sorak sorai yang biasanya terjadi
diruang sidang. Walaupun para Hakim pada waktu hadir dimesjid untuk menjalankan
solat bermusyawarah tentang suatu putusan hukum.
Ruang sidang Pengadilan harus diatur sedemikian rupa
agar mencerminkan kewibawaan Pengadilan. Ruang sidang utama harus lebih
diperhatikan, karena rang sidang tersebut sebagai tempat pemeriksaan
pekara-perkara yang menarik perhatian masyarakat serta digunakan sebagai tempat
upacara resmi.
Dalam praktiknya, luas ruang sidang yang ada
dilingkungan Pengadilan Agama tidak ada keseragaman. Luas ruang sidang ada
biasana tergantung pada kondisi Pengadilan itu sendiri, misalnya luas tanah
atau kondisi bangunan yang sudah ada. Untuk meningkatkan wibawa pengadilan,
maka diharapkan untuk kedepan ada aturan standarisasi ruang sidang.Adapun
perlengkapan yang harus ada dalam ruang sidang sebagai berikut:
a.
Meja sidang,
Meja sidang disebut juga meja hijau,
karena meja tersebut ditutup dengan kain warna hijau. Meja sidang mempunyai
bentuk dan ukuran tertentu.
b.
Kursi untuk Ketua majelis,
Hakim Anggota, dan Panitera
Pengganti.
c.
Lambang Negara Garuda, terletak di
dinding sebelah atas belakang meja sidang.
d.
Bendera Merah Putih disebelah kanan
meja sidang.
e.
Kursi untuk tempat penggugat,
tergugat dan saksi-saksi, terletak didepan meja sidang.
f.
Palu di atas meja sidang dihadapan
kursi Ketua Majelis.
g.
Al-Qur’an.
C. SUSUNAN PERSIDANGAN
Pada asasnya pengadilan bersidang sekurang-kurangnya
tiga orang hakim, kecuali apabila undang-undang menentukan lain. Di antara
Hakim tersebut, seorang bertindak sebagai Ketua dan lainnya sebagai Hakim
Anggota. Dalam hal tertentu pemeriksaan dapat dikasanakan dengan hakim tunggal
setelah terlebih dahulu mendapat izin dari Mahkamah Agung.
Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 22 tahun
1969, susunan persidang perkara perdata maupun pidana adalah Panitera sidang
paling kiri, berurut kekanan adalah Ketua Majelis, Hakim Anggota yang lebih
senior dan Hakim Anggota yang lebih junior. Ukuran senioritas yang dijadikan
pedoman adalah senioritas dalam jabatan hakim.
Menurut undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara
pidana susunan persidangan adalah Ketua Majelis ditengah, Hakim anggota berada
disebekah kiri dan kanannya, sedangkan Panitera berada diantara Ketua Majelis
dan Hakim Anggota (sebelah kiri ketua) agak mundur kebelakang dengan
menggunakan meja sendiri.
Dalam praktik, susunan persidangan menurut Hukum Acara
Pidana tersebut dugunakan untuk persidang perkara perdata dilingkungan
Peradilan Umum maupun lingkungan Peradilan Agama. Namun, penerapan susunan
persidangan tersebut dilingkungan peradilan Agama masih belum sepenuhnya,
karena tempat duduk Panitera/Panitera pengganti masih sejajar dengan Majelis
Hakim yaitu menghadap meja sidang, sehingga terkesan bahwa Majelis Hakim yang
bersidang berjumlah 4 (empat) orang. Oleh karena itu keberadaan aturan yang
mengatur tentang susunan persidangan perkara perdata dalam hukum acara perdata
sangat diperlukan.
Tugas Hakim Anggota selain yang telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undang juga diberi tugas berkaitan dengan persidang, yaitu
Hakim Anggota yang senior mencatat segala hal dan peristiwa untuk kepentingan
menyusun putusan, sedangkan Hakim Anggota yang junior mencatat segala hal dan
peristiwa untuk penyusunan berita acara persidangan. Tugas-tugas tersebut
dilakukan bersama Panitera Pengganti.
Pakaian Majelis Hakim Pengadilan Agama memakai toga
dan berkopiah hitam bagi hakim pria, hakim wanita memakai toga dan berjilbab,
sedangkan Panitera Pengganti yang ikut sidang memakai jas warna hitam, untuk
Panitera Pengganti wanita memakai jas warna hitam dan berjilbab.
D. PROTOKOLER PERSIDANGAN
Protokoler persidangan sebelum sidang dilangsungkan
dilaksanakan oleh seorang petugas khusus yang ditunjukkan untuk melakukan
tugas-tugas tersebut. Sedangkan protokoler persidangan pada sidang berlangsung
dilaksanakan oleh Majelis Hakim.
Dalam hukum acara perdata tidak ditemukan ketentuan
yang mengatur tentang protokoler persidangan. Protokoler persidangan orang
dewasa yang terbuka untuk umum diatur dalam hukum acara pidana.
Dalam praktik di Peradilam Agama, protokoler
persidangan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Sidang Pengadilan Agama dimulai
pukul 09.00 waktu setempat, kecuali sebelumnya ditentukan atau karena keadaan
luar biasa.
b.
Majelis Hakim dan Panitera Pengganti
siap memasuki ruang sidang.
c.
Petugas Protokoler memberitahu
kepada hadirin bahwa sidang segera dimulai, Majelis Hakim memasuki ruang
sidang.
d.
Majelis Hakim memasuki ruang sidang
dan duduk di posisi yang telah ditentukan, demikian pula Panitera Pengganti.
e.
Tugas Protokoler selanjutnya menjadi
tugan Majelis Hakim.
f.
Ketua Majelis Hakim membuka sidang dengan kalimat,“pada hari ini......tanggal.....Pengadilam
Agama......yang memeriksa perkara perdata, dinyatakan di buka dan terbuka untuk
umum, dengan menbaca Bismillahirrahmanirrahim” diikuti ketukan palu tiga kali.
g.
Sidang ditutup, diikuti ketukan palu
tiga kali.
BAB
IV
PENYITAAN
A. PENGERTIAN
Prosedur penyitaan di dalam KUHAP erat hubungannya
dengan pembuktian, oleh sebab itu harus ada pembatasan dan aturan yang tegas
supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan dari penegak hukum sehingga tidak terjadi
rekayasa alat bukti yang dapat merugikan tersangka. Karena tidak semua orang
yang dipenjara adalah orang yang bersalah dan tidak semua orang yang tidak
dipenjara adalah orang yang tidak bersalah.
Pengertian Penyitaan dalam KUHAP Pasal 1 Butir 16 ialah
“Penyitaan adalah serangkaian tindakan untuk mengambil alih dan atau menyimpan
di bawah penguasaannya benda bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”
Oleh sebab itu penyitaan guna kepentingan Acara Pidana dilakukan dengan cara yang diatur oleh Undang- undang, antara lain harus ada izin Ketua Pengadilan Negeri setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Akan tetapi dalam keadaan sangat perlu dan mendesak apabila penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin meminta izin Ketua Pengadilan terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda yang bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan setempat guna mendapatkan persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2), ditafsirkan menurut pendapat penulis, apabila tidak disetujui Ketua Pengadilan Penyitaan harus dibatalkan.
Oleh sebab itu penyitaan guna kepentingan Acara Pidana dilakukan dengan cara yang diatur oleh Undang- undang, antara lain harus ada izin Ketua Pengadilan Negeri setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Akan tetapi dalam keadaan sangat perlu dan mendesak apabila penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin meminta izin Ketua Pengadilan terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda yang bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan setempat guna mendapatkan persetujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2), ditafsirkan menurut pendapat penulis, apabila tidak disetujui Ketua Pengadilan Penyitaan harus dibatalkan.
Benda yang dapat disita sebagaimana ketentuan Pasal 39
ayat (1) butir a KUHAP, adalah ‘’benda atau tagihan tersangka atau terdakwa
yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau dari hasil
dari tindak pidana.” Benda-benda
lain yang dapat disita, ialah sebagai berikut:
1.
Benda yang telah dipergunakan secara
langsung untuk melakukan delik atau untuk mempersiapkan, diatur dalam Pasal 9
ayat 1 butir b KUHAP.
2.
Benda yang dipergunakan untuk
menghalangi- halangi Penyidik Delik (tindak Pidana) diatur dalam Pasal 39 ayat
1 Butir c KUHAP.
3.
Benda yang khusus dibuat atau
diperuntukan melakukan delik pasal diatur dalam Pasal 39 ayat 1 butir d
KUHAP.
4.
Benda lain yang mempunyai hubungan
langsung dengan delik yang dilakukan, diatur dalam Pasal 39 ayat 1 butir e
KUHAP.
Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit, dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, apabila dipenuhi persyaratan butir 1 sampai 5 di atas, diatur dalam pasal 39 ayat (2) KUHAP.
Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit, dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, apabila dipenuhi persyaratan butir 1 sampai 5 di atas, diatur dalam pasal 39 ayat (2) KUHAP.
Tindak pidana yang tertangkap tangan diberlakukan
penyitaan, diatur dalam pasal 40 KUHAP “dalam hal tertangkap tangan penyidik
dapat menyita benda atau alat yang ternyata atau yang patut diduga telah
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai
sebagai barang bukti.” Selain itu diatur dalam Pasal 41 KUHAP, “dalam hal
tertangkap tangan, penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang
pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi
atau pengangkutan sepanjang paket, surat atau benda tersebut, diperuntukan bagi
tersangka atau yang berasal dari padanya, dan untuk itu kepada tersangka
dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawaban atau perusahaan
telekomunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan tanda
penerimaan.”
Dalam pasal 43 KUHAP diatur “penyitaan surat atau
tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk
merasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan
atas persetujuan mereka atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat,
kecuali undang-undang menentukan lain.”
Mengenai penyimpanan benda sitaan di dalam rumah
penyimpanan benda sitaan negara, diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan selama
belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara dapat dilakukan
penyimpanan pada Kantor Kepolisian Negara RI, kantor Kejaksaan Negeri, gedung
bank pemeritah dan dalam keadaan memaksa di dalam tempat penyitaan lain atau
tetap di tempat semula benda itu disita. Kemudian diatur tentang pemeliharaan
dan penyelesaian benda-benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan atau
biaya penyimpanan terlalu tinggi, maka benda-benda semacam itu jika masih di
tangan penyidik atau penuntut umum, dapat dijual lelang atau dapat
diamankan oleh penyidik atau penuntut umum dengan disaksikan oleh tersangka
atau kuasanya. Apabila sudah di tangan pengadilan, dapat dilakukan hal yang
sama oleh penuntut umum dengan izin hakim yang menyidangkan perkara tersebut,
diatur dalam Pasal 45 ayat 3 KUHAP.
Mengenai benda sitaan yang bersifat terlarang seperti
narkotika, disediakan untuk dirampas untuk negara atau dimusnakan, diatur dalam
pasal 45 ayat 4 KUHAP. Penyitaan
dapat berakhir berdasarkan Hukum Acara Pidana:
1.
Penyitaan dapat berakhir sebelum ada
putusan hakim.
a.
kepentingan penyidikan dan penuntutan
tidak memerlukan lagi.
b.
perkara tersebut tidak jadi dituntut
karena tidak cukup bukti, atau tidak merupakan delik.
c.
perkara tersebut dikesampingkan demi
kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali benda
tersebut diperoleh dari suatu delik atau yang dipergunakan untuk melakukan
suatu delik.
2.
Penyitaan berakhir setelah ada
putusan hakim, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang
atau mereka yang disebut dalam keputusan tersebut, kecuali kalau benda tersebut
menurut putusan hakim dirampas untuk negara, untuk dimusnakan atau untuk
dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi, atau jika benda tersebut masih
diperlukan sebagai barang bukti untuk perkara, diatur dalam Pasal 46 ayat (2)
KUHAP. Demikianlah prosedur penyitaan
menurut kitab Undang- undan Hukum Acara Pidana. Selain itu diatur pula
penyitaan bersifat khusus, antara lain :
a.
undang-undang tindak pidana ekonomi.
b.
undang-undang pemberantasan tindak
pidana korupsi.
c.
undang- undang lalu lintas devisa.
BAB V
PEMBUKTIAN
A.
PENGERTIAN
Ada berbagai macam definisi tentang pembuktian, yaitu
menurut M. Yahya Harahap arti pembuktian terbagi menjadi dua, arti
pembuktian secara luas dan arti pembuktian secara sempit. Arti pembuktian
secara luas adalah kemampuan pengugat atau tergugat dalam memanfaatkan hukum
pembuktian utuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dengan
kejadian-kejadian yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang
diperkarakan. Sedangkan arti pembuktian secara sempit adalah pembukian
digunakan hanya sepanjang masih ada hal-hal yang dibantah atau hal-hal yang
masih disengketakan ataupun sepanjang masih adanya hal-hal yang diperselisihkan
antara pihak-pihakl yang beperkara.
R. Subekti menuturkan bahwa pembuktian adalah suatu
upaya dari para pihak yang beperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil-dalil yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang
dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.
Henny Mono, S.H. menjelaskan bahwa pembuktian itu
adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pihakyang beperkara dalam suatu
sengketa perdata. Dalam hal pembuktian bertujuan majelis hakim menetapkan hukum
di antara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu
kebenaran yang memiliki nilai keadilan. Sesuai dengan pasal 163 HIR/283 RGB/
1865 KUH Perdata yang berbunyi “ setiap orang yang mendalilkan bahwa ia
mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah
suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan
adanya hak atau peristiwa tersebut.”
Dari uarian-uaraian para pakar hukum di atas, maka
pembuktian adalah upaya para pihak yang bersengketa untuk meyakinkan hakim akan
kebenaran peristiwa atau kejadian yang di ajukan oleh para pihak yang
bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Dalam segi tujuannya pembuktian bertujuan untuk
mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim. Akan
tetapt kebenaran yang di maksud dalam hukum perdata dan pidana memiliki
perbedaan dalam segi materiil dan formilnya. Dalam hukum perdata, kebenaran
yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formil. Sedangkan dalam hukum pidana,
hakim mencari kebenaran dalam segi materiil. Kebenaran formil yang dicari oleh
hakim dalam artian bahwa hakim tidak diperkenankan melampaui batas-batas yang
di ajukan oleh pihak yang beperkara. Maka, baik kebenaran formil maupun
kebenaran materiil hendaknya seorang hakim mencarinya secara bersamaan dalam
pemeriksaan suatu perkara yang diajukan kepada hakim.
B. TEORI PEMBUKTIAN
Untuk landasan pembuktian Prof. Dr. Sudikno
Mertokusumo, S.H mengemukakan tentang teori-teori dalam proses pembuktian di
pengadilan. Yaitu :
1.
Teori pembuktian yang bersifat
menguatkan belaka ( bloot offirmatief ).
Teori ini menjelaskan bahwa siapa
yang mnegemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan mengingkarinya atau
menyangkalnya.
2.
Teori hukum subyektif.
Teori ini adalah suatu proses
perdata yang merupakan pelaksanaan hukum subyektif, atau bertujuan untuk
mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan ataupun mengaku
mempunyai hak yang harus dibuktikan.
3.
Teori hukum obyektif.
Teori ini, mengajukan tuntuan hak
atau gugatan bahwa sanya penggugat meminta kepada hakim agar hakim menerapkan
ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap peristiwa yang diajukan. Maka dari
pada itu penggugat harus membuktikan kebenaran dari pada peristiwa yang
diajukannya dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada
peristiwa tersebut.
4.
Teori hukum publik.
Teori ini ialah mencari suatu
kebenaran peristiwa di dalam peradilan yang merupakan kepentingan publik. Oleh
karena itu hakim harus memiliki wewenang yang lebih besar untuk mencari
kebenaran.
5.
Teori hukum acara.
Menurut teori ini hakim harus
membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak yang
berdasarkan asas prosesuil. Yang sama dari para pihak dengan pembuktian secara
seimbang atau patut.
C. BEBAN PEMBUKTIAN
Sesuai dengan pasal 163 HIR/283 RGB/ 1865 KUH Perdata,
maka pihak yang harus membuktikan atau yang dibebani beban pembuktian adalah
pihak yang berkepentingan di dalam suatu perkara, terutama penggugat yang
mengemukakan dalil-dalil dalam penggugatannya. Sedangkan bagi pihak tergugat
berkewajiban mengajukan bukti-bukti sebagai alat bantahnnya. Namun apabila bagi
pihak pengguat tidak mampu ataupun tidak dapat menunjukkan bukti atas peristiwa
atau kejadian yang diajukannya, maka pihak ini harus di kalahkan. Begitu pula
bagi pihak tergugat apabila tidak dapat atau tidak mampu menunjukkan bukti atas
bantahannya maka ia harus pula di kalahkan oleh hakim berdasarkan bukti-bukti
yang sudah ada.
Maka daripada itu pembuktian dibebankan sepenuhnya
kepada pihak yang berperkara baik penggugat maupun yang tergugat. Bukan hakim
yang memikul beban tersebut karena hakim hanyalah bertugas untuk menyelidiki
apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau
tidak. Dengan demikian, para pihak yang berperkaralah yang wajib membuktikan
segala peristiwa, kejadian, atau fakta yang di sengketakan denagn mengajukan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
D. HAL-HAL YANG PERLU DI BUKTIKAN
Pembuktian memegang peranan penting dalam pemeriksaan
perkara dalam persidangan dipengadilan. Sesuai dengan tujuan pembuktian yaitu
untuk memberikan kepastian pada hakim tentang adanya peristiwa tertentu, maka
yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh
pihak-pihak dalam hal sesuatu yang belum jelas atau yang menjadi persengketaan.
Peristiwa-peristiwa yang harus dibuktikan dimuka
sidang pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sebgai berikut :
1.
Peristiwa atau kejadian tersebut
harus merupakan peristiwa atau kejadian yang di sengketakan sebab pembuktian
tersebut menjadi cara dalam menyelesaikan persengketaan.
2.
Peristiwa atau kejadian tersebut
harus dapat di ukur, terikat dengan ruang dan waktu.
3.
Peristiwa atau kejadian tersebut
harus berkaitan dengan hak yang di sengketakan, karena pembuktian itu tidak
mengenai hak yang di sengketakan.
4.
Peristiwa atau kejadian itu efektif
untuk di buktikan. Dalam artian peristiwa atau kejadian tersebut menjadi salah
satu rangkaian peristiwa atau kejadian.
5.
Peristiwa atau kejadian tersebut
tidak di larang oleh hukum dan kesusilaan.
Hal-hal yang telah disebutkan diatas, yang mana telah
menjadi hal-hal yang perlu di buktikan itu sesuai dengan pasal 163 HIR/pasal
283 RBG/pasal 1685 KUH Perdata.
E. HAL-HAL YANG TIDAK PERLU DI BUKTIKAN
Dalam hal-hal yang tidak perlu dibuktikan dimuka
pengadilan adalah sebagai berikut :
1)
Peristiwa yang di anggap tidak perlu
diketahui oleh hakim atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, misalnya
:
a)
Dalam putusan verstek.
Adalah keputusan yang diambil oleh
hakim dikarenakan ketidak hadirannya pihak tergugat setelah dipanggil secara
patut. maka segala peristiwa yang di dalilkan oleh penggugat harus dianggap
benar.
2)
Dalam hal mengakui gugatan
penggugat.
Dalam hal ini hakim tidak perlu
mendapat pembuktian jika tergugat mengakui dan membenarkan gugatan dari
penggugat.
3)
Telah dilaksanakan sumpah decissoir
Sumpah decissoir adalah sumpah yang
menetukan dan telah dilaksanakan oleh salah satu pihak yang berperkara, maka
pembuktian selanjutnnya tidak diperlukan lagi.
4)
Dalam hal tergugat reperte
Dalam hal ini pihak tergugat tidak
mengakui dan tidak pula membenarkan gugatan penggugat, maka segala gugatan
penggugat secara sepenuhnnya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian hal
seperti ini tidak perlu diadakan pembuktian lagi.
5)
Hakim secara ex officio
dianggap telah mengetahui atau mengenal peristiwanya. Misalnya :
a)
Peristiwa otDir feiten.
Peristiwa ini bisa juga disebut dan
dianggap sebagai pengetahuan umum. Maka apa-apa yang telah diketahui oleh
masyarakat maupun hakim secara umum, tidak perlu di buktikan lagi.
b)
Pengetahuan hakim sendiri.
Dalam hal ini pengetahuan hakim digunakan
untuk menyelesaikan sengketa antara kedua belah pihak. Namun ketentuan ini bisa
dianggap sebagai peristiwa notoir feiten, yang mana pengetahuan hakim
berdasarkan hukum alam. Akan tetapi ketentuan ini tidak selamanya demikian,
karena pada hal ini hakim bersandar pada hipotesis ilmu pengtahuan atau adat
yang berlaku pada daerah setempat.
c)
Pernyataan yang bersifat negatif.
Suatu peristiwa yang bersifat
negatif, pada umumnya tidak mungkin untuk di buktikan. sebagaimana dalam
putusan mahkamah agung Nomor 547 K/Sip/1971 tanggal 15 maret 1972, yang isinya
bahwa pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu
yang negatif adalah lebih berat dari beban pembuktian pihak yang harus
membuktikan sesuatu yang positif.
F.
ALAT-ALAT
BUKTI, DASAR HUKUM, DAN KEKUATANNYA
Dalam ilmu hukum acara perdata, Drs. Hari Sasangka,
S.H., M.H., menjelaskan bahwa untuk membuktikan suatu dalil tentang hak dan
kewajiban dalam sengketa di pengadilan sudah datur dalam pasal 164 HIR/284 RBG/
1866 KUH Perdata, yaitu :
1.
Alat bukti Surat / tertulis,
2.
Alat bukti saksi,
3.
Alat bukti persangkaan,
4.
Alat bukti pengakuan,
5.
Alat bukti sumpah.
Selain yang telah disebutkan diatas, ada pula alat
bukti yang dapat digunakan dalam proses pembuktian di pengadilan serta
disebutkan undang-undang, yaitu
1.
Pemeriksaan di Tempat (pasal 153
HIR/180 RBG)
2.
Keterangan ahli (pasal 154 HIR/181
RBG).
Sedangkan alat bukti dalam proses pembuktian di
pengadilan yang tidak di sebutkan oleh undang-undang namun bisa di gunakan
dalam pembuktian adalah :
1.
Foto, Film Rekaman Video/tape/CD
2.
Microfilm, microfisce.
Alat-alat bukti yang telah disebutkan diatas sesuai
dengan surat Ketua MA kepada Menteri Kehakiman Nomor 37/TU/88/102/Pid tanggal
14 Januari 1988, yang menjelaskan bahwa hal tersebut di atas bisa di jadikan
alat bukti dengan catatan terjamin otentikasinya yang dapat ditelusuri dari
registrasi maupun berita acara.
A. Alat Bukti
Surat / Tulisan
Dasar hukum
yang digunakan untuk melandasi alat bukti yang berupa tulisan atau surat ini
adalah pasal 164 HIR/284, 293, 294 ayat (2) dan 164 ayat (78) RBG/1867-1880,
1869, dan pasal 1874 KUH Perdata. Surat
sebagai alat bukti tertulis terbagi menjadi tiga, yaitu:
1)
Akta Autentik.
Pasal165
HIR/285 RBG/1868 KUH Perdata menjelaskan, yaitu suatu surat yang dibuat menurut
ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat, yang berkuasa untuk
membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli
warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal
yang tersebut di dalarn surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat
itu sebagai pemberitahuan saja; tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekadar
diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok yang disebutkan dalam akta
tersebut. Akta
autentik harus memenuhi unsur-unsur :
a)
Dibuat oleh atau dihadapan pejabat
yang berwenang,
b)
Sengaja dibuat untuk surat bukti,
c)
Bersifat partai,
d) Atas
permintaan partai,
e)
Mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna dan mengikat.
Kekuatan
yang dimiliki oleh akta autentik sebagai salah satu alat bukti adalah :
a.
Mempunyai kekuatan pembuktian lahir,
yaitu kekuatan yang berdasarkan atas apa yang tampak.
b.
Mempunyai kekuatan pembuktian
formal, yaitu pihak yang tercantum dalam akta tersebut telah benar menyatakan
apa yang tertulis dalam akta yang dibuat dan ditandatangai oleh pejabat yang
berwenang.
c.
Memiliki kekuatan material, yaitu
bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut benar-benar telah terjadi.
d.
Mempunyai kekuatan pembuktian yang
mengikat, yaitu apabila isi surat tersebut ada pihak ketiga, maka apa yang
disebutkan oleh para pihak atau seseorang dan isinya mempunyai kekuatan
pembuktian ke luar.
e.
Memiliki kekuatan sempurna, yaitu
tidak memerlukan alat bukti lain untuk melengkapi (pasal 1870 KUH Perdata/165
HIR/285 RBG).
2)
Akta di Bawah Tangan
Akta ini di
atur dalam pasal 289-305 RBG/1874-1880 KUH Perdata, namun dalam ruang lingkup
luar Jawa Madura. Sedangkan dalam lingkup Jawa dan Madura peraturan ini dapat
ditemukan dalam Stb. 1867 Nomor 29. Dalam undang-undang dan peraturan tersebut
menjelaskan bahwa :
a)
Dipandang sebagai akta di bawah
tangan yaitu surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan surat yang surat
ditandatangani dan dibuat dengan tidak memakai bantuan seorang pejabat umum.
b)
Tanda tangan di bawah surat di bawah
tangan disamakan suatu cap jari yang dibuat di bawah surat itu dan disahkan
oleh keterangan yang bertanggal dari seorang notaris atau pejabat umum lainnya,
yang akan ditunjukkan dengan ordonansi. Keterangan itu harus. menyatakan bahwa
ia kenal orang yang. membuat (cap jempol itu, atau, bahwa orang itu telah
diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta itu telah dibacakan dengan terang
kepada orang yang membuat cap jari itu, dan bahwa setelah itu cap jari itu
dibuat di hadapan notaris atau pejabat umum dimaksud.
c)
Surat itu dibukukan oleh notaris
atau pejabat umum itu.
d) Keterangan
dan hal membukukan itu buat menurut peraturan tentang itu, yang sudah atau akan
ditetapkan dengan ordonansi.
Kekuatan
yang dimiliki oleh alat bukti akta di bawah tangan adalah :
a.
Apabila tanda tangan yang dibubuhkan
dalam akta tersebut di akui kebenarannya oleh masing-masing pihak, maka akta
tersebut disebut “akta dibawah tangan yang diakui”, yang memiliki kekuatan
lahir, dan kekuatan materialdan formal.
b.
Akta dibawah tangan yang diakui sama
halnya dengan akta otentik dalam segi kekuatannya sebagai alat bukti tertulis.
Namun akta dibawah tangan ini tidak memiliki kekuatan bukti ke luar, sebagaiman
yang dimiliki oleh akta otentik.
B. Alat Bukti
Saksi.
Dasar yang
digunakan untuk penggunaan alat bukti saksi dalam proses pembuktian di
pengadilan adalah pasal 169-172 HIR/306-309 RBG/1895, 1902-1912 KUH Perdata.
Pengertian alat bukti saksi yang diuraikan oleh Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo
bahwa keterangan saksi atau suatu kesaksian adalah kepastian yang diberikan
kepada hakim di persidangan dtentang peristiwa yang disengketakan dangan jalam
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam perkara yang dipanggil di persidangan.
Sehubungan
dengan undang-undang yang telah disebutkan di atas, serta uraian dari pakar
hukum, maka saksi yang di panggil dalam persidangan harus memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1)
Kewajiban hadir dalam persidangan
karena telah dipanggil secara patut menurut hukum sesuai dengan pasal139, 140,
141 HIR,
2)
Kewajiban untuk bersedia di sumpah
menurut agama yang di anutnya.
3)
Kewajiban memberikan keterangan yang
benar.
Dalam pasal
169 RBG di sebutkan bahwa pemeriksaan saksi yang tidak dapat hadir ddalam
persidangan karena sakit atau cacat badan, maka ketua majelis hakim mengirimkan
anggota majelis hakim untuk hadir ke rumah saksi tersebut dengan disertai oleh
panitera untuk mendengarkan keterangan saksi tanpa di sumpah yang kemudian di
masukkan dalam berita acara pemeriksaan yang selanjutnya dilaporkan kepada
ketua majelis hakim.
Apabila
saksi yang digunakan dalam suatu proses pembuktian di pengadilan, maka menurut
pasal 143 HIR dan Pasal 170 RBG, saksi dapat diperiksa oleh pengadilan yang
berada dalam wilayah tempat tinggal saksi, yang kemudian diserahkan kepada
hakim yang memeriksa semula dalam bentuk berita acara pemeriksaan.
Kemudian
dari pihak majelis hakim memeriksa saksi dalam persidangan dengan ketentuan
sebagai berikut :
1)
Cara Pemeriksaan Saksi Di
Persidangan Sesuai dengan Pasal 144 HIR/171 RBG yaitu :
a)
Para saksi yang hadir pada hari yang
ditentukan itu, dipanggil ke dalam ruang sidang satu per satu.
b)
Ketua menanyakan nama pekerjaan,
umur, dan tempat tinggal atau kediaman saksi itu.
c)
Ditanyakan pula apakah saksi
tersebut berhubungan keluarga dengan kedua belah pihak, atau dengan salah satu
pihak, baik karena hubungan darah maupun karena perkawinan dan jika ada sampai
derajat ke berapa. Selain itu ditanyakan juga apakah saksi bekerja atau sebagai
pegawai salah satu pihak.
C. Alat Bukti
Persangkaan.
Pasal 173
HIR / 310 R.Bg hanya menerangkan tentang petunjuk bagi hakim tentang tata cara
mempergunakan alat bukti persankaan, yaitu persangkaan-persangkaan hanya boleh
dipertimbangkan oleh hakim ketika hakim hendak menjatuhkan putusannya jika
persangkaan itu penting, seksama, tertentu dan bersesuaian antara satu dengan
lainnya.
Sedangkan
dalam pasal 1915 KUH Perdata menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan oleh hakim
atas dasar persangkaan-persangkaan dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah
peristiwa yang tidak dikenal.
D. Alat Bukti
Pengakuan.
Dasar hukum
yang melandasi alat bukti pengakuan dalam proses pembuktian di pengadilan di
atur dalam pasal 174 HIR/311 RBG/1923-1928 KUH Perdata. Kemudian dalam proses
pengakuan terdapat klasifikasi tntang pengakuan-pengakuan yang di ajukan oleh
masing masing pihak yang beperkara yaitu :
1)
Pengakuan Murni Pasal 176 HIR / 313
RBG/ 1924 KUH Perdata, yaitu pengakuan yang sepenuhnya membenarkan dalil yang
di ajukan penggugat. Dalam hal pengakuan ini bersifat mutlak dengan tidak ada
ketentuan atau syarat apapun.
2)
Pengakuan dengan kualifikasi, yaitu
suatu pengakuan yang bersifat sesuai sebagaimana dalil yang diajukan oleh
penggugat. Jadi pengakuan tersebut disertai dengan suatu sangkalan terhadap
sebagina dalil yang di kemukakan oleh pihak penggugat.
3)
Pengakuan dengan klasula, yaitu
pengakuan yang isinya sama dengan pernyataan penggugat. Akan tetapi ditambahi
dengan suatu keterangan. Sehingga pengakuan tersebut bersifat menentang dalil
lawan atau melumpuhkan dalil lawan untuk menuntut.
E. Alat Bukti
Sumpah.
Menurut
uraian Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo sumpah pada umumnya adalah suatu pernyatan
yang khidmad yang diberikan atau diucapkan pada saat memberi janji atau
keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada tuhan, dan percaya
bahwa siapa yang memberikan keterang yang tidak benar maka akan mendapatkan
hukman dari-Nya. Jadi sumpah adalah tindakan religius yang digunakan dalam
pengadilan dalam proses pembuktian.
Dasar hukum
dari alat bukti sumpah ini adalah pada pasal 155-158, 177 HIR/182-185
RBG/1929-1945 KUH Perdata. Kemudian macam-macam alat bukti sumpah terbagi
menjadi:
1)
Sumpah Supletoir sesuai pasal 155
HIR / 183 RBG/1940 KUH Perdata, yaitu :
a)
Jika kebenaran gugatan atau jawaban
atas tidak cukup terang, tetapi ada juga sedikit keterangan, dan sama sekali tidak
ada Jalan untuk dapat menguatkannya dengan alat bukti lain, maka karena
Jabatannya pengadilan dapat menyuruh salah satu pihak bersumpah di hadapan
hakim, baik untuk mencapai putusan dalam perkara itu bergantung kepada sumpah
itu, maupun untuk menentukan dengan sumpah itu jumlah uang yang akan di
kabulkan.
b)
Dalam hal yang kemudian itu harus
pengadilan menetukan jumlah uang, yang sehingga itulah boleh dipercaya
Penggugat karena sumpahnya.
2)
Sumpah Decissoir sesuai dengan pasal
156 HIR/183RBG/ 1930 KUH Perdata, yaitu :
a)
Walaupun tidak ada suatu keterangan
untuk menguatkan gugatan atau jawaban atas gugatan itu, maka salah satu pihak
dapat meminta, supaya pihak yang lain bersumpah, di hadapan hakim untuk
mencapai putusan dalam perkara
itu bergantung kepada sumpah itu asal perbuatan yang dilakukan oleh pihak itu
sendiri, yang kepada sumpahnya itu akan bergantung putusan itu.
b)
Kalau perbuatan itu suatu perbuatan
yang dilakukan oleh kedua belah pihak, pihak yang tidak mau disuruh mengangkat
sumpah dapat menolak sumpah itu kepada lawannya.
c)
Barang siapa disuruh
bersumpah, tetapi tidak mau bersumpah sendiri atau menolak sumpah itu
kepada lawannya, ataupun barangsiap menyuruh bersumpah tetapi sumpah itu
dipulangkan kepadanya, dan tidak mau bersumpah maka ia harus dikalahkan.
d) Sumpah itu
tidak dapat diminta ditolak atau diterima oleh orang lain, hanya oleh pihak itu
sendiri atau oleh seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
3)
Sumpah yang
Dilakukan oleh Kuasa Hukum sesuai dengan pasal 157 HIR / 184 R.Bg, yaitu sumpah
yang diperintahkan oleh hakim atau yang diminta supaya diangkat oleh salah satu
pihak atau ditolak oleh satu pihak kepada pihak lain, harus dilakukan sendiri,
kecuali kalau karena sebab yang penting pengadilan memberi izin kepada salah
satu pihak, akan menyuruh bersumpah seorang wakilnya, yang secara khusus
dikuasakan untuk mengangkat sumpah itu, kuasa itu hanya boleh diberikan dengan
suatu akta, sebagai tersebut dalam ayat ketiga Pasal 147 RBG yang dengan
saksama dan cukup menyebutkan sumpah yang akan diangkat itu.
4)
Sumpah Taxatoir, yaitu sumpah yang
diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan
ganti rugi yang harus ditanggung oelh tergugat. Sumpah ini disebut juga sumpah
penaksir, aestimatoir, atau schattingseed yang di atur dalam pasal 155 HIR/ 182
RBG/ 1940 KUH Perdata. Karena sumpah ini hanya di bebankan kepada pihak
penggugat, maka penggugat harus sudah bisa membuktikan dalil-dalil gugatannya
bahwa dirinya telah menanggung kerugian akibat perbuatan perbuatan tergugat.
5)
Tata Cara Mengangkat Sumpah
diatur dalam pasal 312 HIR / l75 RBG yaitu,
a)
Pengangkatan
sumpah selalu dilakukan dalam persidangan pengadilan, kecuali jika ada suatu
halangan yang sah menyangkal perbuatan itu, atau jika hakim memerintahkan
supaya sumpah itu akan diangkat dalam masjid, kelenteng atau tempat yang
dipandang keramat.
Dalam hal
itu Ketua Pengadilan dapat memberi kuasa kepada salah seorang anggota
pengadilan, supaya ia dengan banwan Panitera, yang harus membuat berita acara
tentang hal itu, mengambil sumpah dari pihak yang berhalangan itu di rumahnya
atau di tempat yang ditunjukkan oleh hakim.
b)
Jika sumpah harus diangkat di luar
daerah hukum pengadilan, maka Ketua meminta kepada pemerintah setempat dalam
daerah hukumnya terletak tempat mengangkat sumpah itu, akan mengambil sumpah
itu dan akan mengirimkan berita acara yang dibuat tentang hal itu dengan
segera. Sumpah tidak boleh diangkat, melainkan dihadapan pihak yang lain, atau
sesudah pihak itu dipanggil dengan patut.
BAB VI
PUTUSAN PENGADILAN
A.
PENGERTIAN
Pengertian
putusan pengadilan menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP yaitu pernyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.
Bahwa
bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung dari hasil musyawarah
yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti
dalam pemeriksaan sidang peradilan. Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan
untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya,
dengan terlebih dahulu hakim memeriksa perkaranya.
Bahwa
setelah putusan pengadilan diucapkan oleh hakim harus ditanda tangani oleh
hakim dan panitera (Pasal 200 KUHAP) dalam hal ini semua hakim yang memeriksa
perkara harus ikut menandatangani baik hakim ketua maupun hakim anggota.
Menurut Pasal 195 KUHAP, semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai
kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Dari pasal
tersebut, dapat diambil pengertian sebagai berikut:
1.
Putusan pengadilan
berlaku sah dan mempunyai kekuatan hokum apabila diucapkan di sidang pengadilan
yang terbuka untuk umum.
2.
Semua keputusan tanpa
kecuali harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Putusan yang diucapkan
dalam sidang tertutup dengan sendirinya tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat, sekalipun dalam perkara kesusilaan dan perkara yang
terdakwanya anakanak. Berdasar sejauh mana suatu perkara diperiksa oleh hakim,
maka menurut KUHAP terdapat dua jenis putusan:
3.
Putusan akhir: yaitu
putusan yang dijatuhkan hakim dalam perkara yang bersangkutan, diperiksa sampai
dengan selesai materi perkaranya.
4.
Putusan sela: yaitu
putusan yang dijatuhkan hakim apabila perkara yang diperiksa belum memasuki
materinya.
Dalam
kaitannya dalam makalah ini, jenis putusan yang dibahas adalah putusan akhir.
Mengenai putusan akhir, putusan ini bersifat mengakhiri perkara dan menentukan
status terdakwa selanjutnya.. Putusan akhir baru dapat dijatuhkan oleh hakim
setelah seluruh rangkaian pemeriksaan dipersidangan selesai. Suatu perkara
pidana setelah dilakukan pembuktian, tuntutan pidana, pembelaan, replik dan
duplik maka hakim harus dapat memberikan putusan setelah musyawarah.
Putusan pemidanaan bersifat memidana
terdakwa, karena yang bersangkutan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana yang didakwakan penuntut umum. Untuk putusan yang bukan
pemidanaan dibagi menjadi dua yaitu putusan bebas dari segala dakwaan dan
putusan lepas dari tuntutan hukum. Dalam putusan bebas artinya dakwaan tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut penilaian hakim berdasar pembuktian
di persidangan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Dakwaan tidak terbukti apabila salah
satu atau semua unsur tindak pidana terjadi, karena salah satu atau semua
unsure tindak pidana tersebut tidak terpenuhi. Sedangkan putusan lepas dari
tuntutan hukum artinya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti,
namun bukan merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
Pengambilan
keputusan adalah suatu proses untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan
cara memilih salah satu dari berbagai alternatif yang ada untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan yaitu menghasilkan suatu keputusan yang baik untuk
mengatasi suatu masalah. Readford dalam (Asiyarfitriadi, 2005) mengungkapkan
definisi pengambilan keputusan sebagai suatu perumusan berbagai macam
alternatif tindakan dalam menghadapi situasi serta menetapkan pilihan yang
tepat dari berbagai alternatif. Pengambilan keputusan (decision making)
melibatkan proses kognitif, dimulai dari mengenali masalah, mengidentifikasi
alternatif pemecahan masalah, menilai, memilih, hingga memutuskan alternatif
yang paling adekuat. Menurut Harisson dalam (Supriyanto, 2005), seorang individu
dikatakan telah mengambilkeputusan bila :
1.
telah memulai
serangkaian reaksi perilaku yang diarahkanpada sesuatu yang lebih disukai,
2.
telah memantapkan
pikirannya untuk melakukan beberapa tindakan, atau yang paling umum
3.
telah membuat putusan
mengenai apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu setelah sebelumnya
mempertimbangkan berbagai alternatif pilihan.
Idealnya,
hukum memberikan petunjuk aturan yang objektif dan prosedur yang eksplisit.
Berdasarkan hasil penelitian pakar psikologi forensik, Davis (Baron &
Byrne, 1991) menemukan bahwa manusia sebagai pelaku hukum tidak selalu dapat
berfungsi secara tepat dengan cara-cara yang obyektif. Ruang peradilan, menurut
Myers (Helmi, 1997) adalah miniatur dunia sosial yang bersifat human relation.
Artinya, di ruang peradilan terjadi proses saling mempengaruhi antar penegak
hukum, yaitu antara hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan bahkan masyarakat.
Ketika terjadi interaksi sosial, dilukiskan Baron&Byrne (Helmi, 1997) maka
perilaku dan penilaiannya dalam proses peradilan dipengaruhi oleh sikap,
kognisi, dan emosinya.
Poernomo
(Helmi, 1997) mengatakan dunia peradilan akhir-akhir ini mendapat sorotan yang
tajam dari masyarakat, hal ini disebabkan karena adanya beberapa aparat penegak
hukum yang dinilai telah melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
hukum. Sorotan tajam itu ditujukan pada aparat kepolisian dan hakim. Polisi
sebagai penyidik disinyalir masih menggunakan pendekatan konvensional dalam mengungkap
kesaksian terdakwa, yaitu dengan cara kekerasan fisik. Sedangkan hakim sebagai
aparat yang paling akhir dalam proses peradilan disinyalir oleh beberapa pakar
hukum dalam membuat putusan dinilai kurang konsisten dan menunjukan disparitas
yang besar. Isu kolusi pun merebak dalam tubuh lembaga peradilan tertinggi di
Indonesia, yaitu Mahkamah Agung. Menjadi hakim merupakan tugas yang cukup berat
karena dapat menentukan kehidupan seseorang untuk dapat memperoleh kebebasan
ataukah hukuman. Jika terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan (Dewantara,
1987), maka akan dapat merenggut nyawa, kemerdekaan, kehormatan dan harta benda
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan setiap insan. Suatu persidangan
melibatkan banyak manusia yaitu pembela, jaksa, saksi, terdakwa, panitera, dan
penonton persidangan. Maka selain muatan hokum sebenarnya juga terdapat muatan
psikologis. Muatan psikologis itu akan muncul atau dimunculkan di dalam ruang
pengadilan tak ubahnya teater psikologis. Oleh karena itu peran psikologi dalam
bidang hukum amat besar, karena hokum melibatkan manusia sebagai pelaku hukum
(Probowati, 1997). Hakim selama ini diharapkan dapat menerapkan hukum dengan
adil dan bertanggung jawab (Probowati, 1997). Seorang hakim dituntut untuk
dapat menilai apa yang ada dalam ruang persidangan dalam hal ini adalah
mengenai keterangan saksi (dapatkah saksi dipercaya kesaksiannya, keterangannya
palsu atau tidak, pemaparan kejadian selama persidangan), terdakwa (bagaimana
terdakwa menghadapi persidangan, sikapnya, pemaparannya mengenai kejadian),
barang bukti (bagaimana kelengkapannya, memberatkan atau meringankan), tuntutan
jaksa (sudah sesuaikah dengan pasal yang dituntutkan pada terdakwa), pengacara
(sikap dan perilaku pengacara selama persidangan). Semua itu merupakan hal yang
harus diperhatikan dan membutuhkan kejelian dalam menggali kejadian yang
sebenarnya sehingga dapat diperoleh suatu keputusan yang dianggap adil dan
obyektif. Namun pada kenyataannya terkadang hakim kurang jeli dalam
persidangan, misalnya salah persepsi dalam menilai suatu kejahatan, atau
kurangnya penggalian data dari saksi yang mungkin dapat memberatkan terdakwa,
selain itu juga kesalahan pada saat proses penyidikan yang memaksa terdakwa
mengakui kesalahan yang tidak dilakukan pun dapat membuat hakim memutuskan
bersalah jika memang didukung oleh bukti yang memberatkan, selain itu
stereotype yang mungkin muncul pun dapat mempengaruhi keputusan hakim.
Dalam
membuat keputusan pengadilan, seorang hakim dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu :
1.
Faktor hakim itu
sendiri, misalnya adalah kepribadiannya, intelegensi, suasana hati.
2.
Faktor opini publik
yang tertulis dalam media massa ketika sidang tengah berlangsung.
3.
Faktor pengacara,
misalnya performance dan gaya bicara yang meyakinkan juga memberikan pengaruh
terhadap putusan hukuman.
4.
Faktor terdakwa,
misalnya jenis kelamin terdakwa, ras dan kemampuan bicara (Probowati, 1997).
Begitu beratnya sebenarnya tugas seorang hakim, karena ditangan hakimlah
pencari keadilan akan meletakkan kepercayaan dan harapannya.
Namun
seorang hakim tetaplah seorang manusia yang tidak akan terlepas dari segi
kemanusiaannya. Hakim bukanlah malaikat ataupun benda mati yang dapat
melakonkan hukum seperti dewi keadilan yang membawa pedang dengan mata
tertutup, dimana hukum diterapkan dengan prinsip mesin secara akurat, konsisten
tanpa melihat orangnya. Sekali lagi hakim hanyalah manusia biasa yang dapat
memunculkan sisi kemanusiaannya saat berhadapan dengan manusia lain saat berada
di ruang sidang. Binoto dalam Sinar Harapan (2003), menuliskan bahwa putusan
pengadilan yang mengundang atau menimbulkan rasa kecewa pencari keadilan bukan
hanya sekali ini saja terjadi. Sebelumnya sudah sering terjadi putusan
pengadilan yang membuat pencari keadilan menjadi sesak napas. Kali ini yang berbeda
adalah reaksi terhadap ketidakpuasan putusan tersebut.
Bila
dalam peristiwa Larantuka, yang menjadi sasaran ketidakpuasan dari sebagian
anggota masyarakat adalah gedung pengadilan dan kejaksaan negeri setempat.
Sedangkan pada kasus atau kejadian lain, yang menjadi sasaran amarah adalah
hakim atau aparat penegak hukum sendiri.
B. DASAR HUKUM
Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
a)
Kitap Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
b)
Pasal 182 ayat (3) dan
ayat (8) KUHAP
c)
KUHP dan KUHAP
C.
SYARAT
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Di dalam dunia
peradilan, ada beberapa jenis pelaksanaan putusan yaitu :
1.
putusan yang menghukum
salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang.
2.
putusan yang menghukum
salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan.
3.
putusan yang menghukum
salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap.
4.
eksekusi riil dalam
bentuk penjualan lelang.
Selanjutnya didalam
mengeksekusi putusan pengadilan, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan
antara lain :
1.
Putusan telah
berkekuatan hukum tetap kecuali dalam hal :
a.
pelaksanaan putusan
serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu.
b.
pelaksanaan putusan
provinsi.
c.
pelaksanaan akta
perdamaian.
d.
pelaksanaan Grose Akta.
2.
Putusan tidak
dijalankan oleh pihak terhukum secara suka rela meskipun ia telah diberi
peringatan (aan maning) oleh ketua pengadilan.
3.
Putusan hakim yang
bersifat kondemnatoir, sehingga dalam putusan diklaratoir dan konstitutif tidak
diperlukan eksekusi.
4.
Eksekusi dilakukan atas
perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan.
Sedangkan yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi tidak berwenang melaksanakaan eksekusi. Sedangkan tata cara sita eksekusi sebagai berikut :
Sedangkan yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi tidak berwenang melaksanakaan eksekusi. Sedangkan tata cara sita eksekusi sebagai berikut :
a.
Ada permohonan sita
eksekusi dari pihak yang bersangkutan.
b.
Berdasarkan surat
perintah Ketua Pengadilan, surat perintah Ketua Pengadilan dikeluarkan apabila
:
5.
Tergugat
tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah.
6.
tergugat tidak mau
memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan.
a.
Dilaksanakan oleh
panitera atau juru sita.
b.
Pelaksanaan sita
eksekusi harus dibantu oleh dua orang saksi :
7.
Keharusan adanya dua
saksi merupakan syarat sah sita eksekusi.
8.
Dua orang saksi
tersebut berfungsi sebagai pembantu sekaligus sebagai saksi sita eksekusi.
9.
Nama dan pekerjaan
kedua saksi tersebut harus dicantumkan dalam berita acara sita eksekusi.
10.
Saksi-saksi tersebut
harus memenuhi syarat :
a.
telah berumur 21 tahun
b.berstatus
penduduk Indonesia
c.
memiliki sifat jujur
11.
Sita eksekusi dilakukan
di tempat obyek eksekusi.
12.
Membuat berita acara
sita eksekusi yang memuat :
a.
nama, pekerjaan dan
tempat tinggal kedua saksi,
b.merinci
secara lengap semua pekerjaan yang dilakukan,
c.
berita acara ditanda
tangani pejabat pelaksana dan kedua saksi (pihak tersita dan juga kepala desa
tidak diharuskan, menurut hukum, untuk ikut menanda tangani berita acara sita).
Isi berita acara sita
harus diberi tahukan kepada pihak tersita, yaitu segera pada saat itu juga
apabila ia hadir pada eksekusi penyitaan tersebut, atau jika tidak hadir maka
dalam waktu yang secepatnya segera diberitahukan dengan menyampaikan di tempat
tinggalnya.
13.
Penjagaan yuridis
barang yang disita diatur sebagai berikut :
a.
Penjagaan dan
penguasaan barang sita eksekusi tetap berada di tangan tersita,
b.
Pihak tersita tetap
bebas memakai dan menikmatinya sampai pada saat dilakukan penjualan lelang,
c.
Penempatan barang sita
eksekusi tetap diletakkan di tempat mana barang itu disita, tanpa mengurangi
kemungkinan memindahkannya ke tempat lain,
d.
Penguasaan penjagaan
tersebut harus disebutkan dalam berita acara sita,
e.
Mengenai barang yang
bisa habis dalam pemakaian, maka tidak boleh dipergunakan dan dinikmati oleh
tersita
f.
Ketidak hadiran tersita
tidak menghalangi sita eksekusi.
D.
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman :
1.
Pelaksanaan putusan
Pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Jaksa.
2.
Pengawasan pelaksanaan
putusan Pengadilan tersebut ayat (1) oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan,
diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.
3.
Pelaksanaan putusan
Pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin
oleh Ketua Pengadilan.
4.
Dalam melaksanakan
putusan Pengadilan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap
dipelihara.
E.
BENTUK-BENTUK PUTUSAN
Jenis-jenis
putusan pengadilan terdiri:
1.
Pemidanaan.
2.
Putusan bebas.
3.
Putusan lepas dari
segala tuntutan hukum.
a)
Pemidananaan.
Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah memperoleh keyakinan, bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana. Memberitahukan kepada terdakwa bahwa memiliki hak untuk menerima, pikir-pikir atau banding.
Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah memperoleh keyakinan, bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana. Memberitahukan kepada terdakwa bahwa memiliki hak untuk menerima, pikir-pikir atau banding.
b)
Putusan bebas.
Jika pengadilan
berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan
(pasal 191 (1) KUHAP).
a.
Tidak terbukti adanya
kesalahan
b.
Tidak adanya 2 alat
bukti
c.
Tidak adanya keyakinan
hakim
d.
Tidak terpenuhinya
unsur tindak pidana
c)
Putusan lepas dari
segala tuntutan hokum.
Jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (pasal 191 (2) KUHAP.
a.
Terbukti tetapi bukan
tindak pidana
b.
Adanya alasan pemaaf,
pembenar atau keadaan darurat.
F.
HAK DAKWAAN
Hak
adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang terdakwa. Apabila hak tersebut
dilanggar, maka hak asasi dari terdakwa telah dilanggar.
Hak-hak terdakwa :
Hak-hak terdakwa :
1.
Hak segera menerima
atau segera menolak putusan
2.
Hak mempelajari putusan
sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang ini;
3.
Hak meminta
menangguhkan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh
undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
4.
Menyatakan banding.
5.
mendapatkan bantuan
hokum
6.
ditunjuk penasihat
hukum pada kasus tertentu yang diberikan cuma-cuma
7.
bantuan juru bahasa
(bagi yang tidak mengerti bahasa Indonesia)
8.
bantuan penterjemah
yang memahami dan dapat berkomunikasi dengan tuna rungu atau tuna wicara (bagi
terdakwa tuna wicara atau tuna rungu)
9.
pembelaan terdakwa
berhak mendapat surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan.
10.
Menghubungi penasehat
hukumnya.
11. Menghubungi
dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain untuk kepentingan penangguhan
penahanan atau usaha mendapat bantuan hokum.
12.
Meminta atau mengajukan
penangguhan penahanan.
13. Menghubungi
atau menerima kunjungan dokter pribadi untuk kepentingan kesehatan.
14.
Menghubungi atau
menerima kunjungan sanak keluarga.
15.
Mengirim surat dan atau
menerima surat.
16.
Mengajukan keberatan
atas penahanan atau jenis penahanan.
17. Menghubungi
atau menerima kunjungan rohaniawan dan menjalankan ibadah.
18.
Bebas dari tekanan
seperti diintimidasi, disiksa secara fisik dll.
19.
Proses Peradilan
dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan.
20. Pemeriksaan
sidang pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum kecuali sidang tertentu
yang ditentukan berdasar UU.
21. Pemeriksaan
di persidangan secara langsung dan lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti
para saksi dan terdakwa.
BAB VII
PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN
A. PENDAHULUAN
Dalam KUHAP, pemeriksaan dalam sidang pengadilan ada 3
macam acara pemeriksaan:
1.
Acara Pemeriksaan Biasa
2.
Acara Pemeriksaan Singkat
3.
Acara Pemeriksaan Cepat yang terdiri
atas :
a.
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana
Ringan
b.
Acara Pemeriksaan Perkara
Pelanggaran Lalu lintas Jalan.
B. ACARA PEMERIKSAAN BIASA
1.
Tata Cara Pemeriksaan Terdakwa
a.
pemeriksaan dilakukan oleh Hakim
yang ditunjuk oleh ketua pengadilan (pasal 152 KUHAP).
b.
pemeriksaan dilakukan secara lisan
dalam Bahasa Indonesia, secara bebas dan terbuka untuk umum. (pasal 153 KUHAP).
c.
anak di bawah umur tujuh belas tahun
dapat dilarang menghadiri sidang.
d.
pemeriksaan dilakukan dengan
hadirnya terdakwa, dan dapat dipanggil secara paksa.
e.
pemeriksaan dimulai dengan
menanyakan identitas terdakwa.
f.
pembacaan surat dakwaan.
2.
Keberatan (Eksepsi) terdakwa atau
penasihat hukum (pasal 156 KUHAP)
a.
macam atau jenis eksepsi
1)
eksepsi tidak berwenang mengadili
2)
keberatan tidak berwenang mengadili
secara relatif
3)
keberatan tidak berwenang mengadili
secara mutlak
b.
eksepsi dakwaan tidak dapat diterima
c.
keberatan surat dakwaan batal demi
hukum
3.
Perlawanan Terhadap Putusan Eksepsi
(pasal 156 KUHAP)
4.
pembuktian / pemeriksaan alat-alat
bukti
a.
Sistem Pembuktian
1)
sistem pembuktian semata-mata
berdasar keyakinan hakim (convictim in time).
2)
.sistem pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim atas alasan logis (la conviction raisonnee / convictim –
raisonee).
3)
sistem pembuktian berdasar UU secara
positif.
4)
sistem pembuktian undang-undang
secara negatif.
b.
alat-alat bukti pasal 184 KUHAP
menentukan, alat bukti yang sah adalah
1)
keterangan saksi
2)
keterangan ahli
3)
surat
4)
petunjuk
5)
keterangan terdakwa
sebagai perbandingan pasal 295 HIR memuat, sebagai
upaya bukti menurut UU hanya mengakui hal berikut :
1.
kesaksian-kesaksian
2.
surat-surat
3.
pengakuan
4.
isyarat-isyarat / petunjuk
dalam pasal 184 KUHAP ada penambahan alat bukti, yaitu
tentang keterangan ahli. Dalam KUHP
pasal 339 disebut alat bukti sbb :
1.
eigen waarneming van de rechter
(pengamatan sendiri oleh hakim)
2.
verklaringen van de verdachte
(keterangan terdakwa)
3.
verklaringen van een getuige
(keterangan seorang saksi)
4.
verklaringen van een deskundige
(keterangan seorang ahli)
5.
schriftelijke bescheiden
(surat-surat)
1)
Keterangan Saksi
a)
adalah salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu (pasal 1 butir (27) KUHAP, juga pasal 1
butir (28) UU No.31/1997 tentang peradilan militer).
b)
kewajiban memberi kesaksian menjadi
saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang.
c)
Tata Cara Pemeriksaan Saksi
1.
saksi dipanggil seorang demi seorang
(psl 160 ayat 1)
2.
memeriksa identitas saksi (psl 160
ayat (1) b)
3.
saksi wajib mengucapkan sumpah
a.
sumpah diberikan sebelum memberi
keterangan (pasal 160 ayat 3).
b.
sumpah diberikan sesudah memberi
keterangan (pasal 160 ayat 4).
d) sumpah dapat
diucapkan di luar sidang (psl 233 (1)
e)
penolakan sumpah dapat dikenakan
sandera (psl 161)
f)
.keterangan saksi di sidang berbeda
dengan berita acara. (psl 185 ayat 1)
g)
terdakwa dapat membantah atau
membenarkan keterangan saksi. (psl 164 ayat 1)
h)
kesempatan mengajukan pertanyaan
kepada saksi dan terdakwa. (psl 165)
i)
larangan mengajukan pertanyaan yang
bersifat menjerat.(psl 166 KUHAP)
j)
saksi yang telah memberi keterangan
tetap hadir di sidang (psl 167 KUHAP).
k)
yang tidak dapat didengar sebagai
saksi.(psl 168 a KUHAP)
l)
mereka yang dapat minta dibebaskan
menjadi saksi.(psl 170 ayat 1 dan 2)
m) mereka yang
boleh memberi keterangan tanpa sumpah (pasal 171 KUHAP)
n)
pemeriksaan saksi dapat didengar
tanpa hadirnya terdakwa.(pasal 173 KUHAP)
o)
keterangan saksi palsu.(pasal 174
KUHAP).
p)
pemeriksaan saksi dan terdakwa dapat
dilakukan dengan juru bahasa dan penerjemah. (psl 177 KUHAP)
q)
syarat sahnya keterangan saksi
r)
nilai pembuktian kesaksian yang
tidak disumpah dan kesaksian yang disumpah.
2)
Keterangan Ahli
a.
pengertian keterangan ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan (pasal 1 butir 28 KUHAP, juga pasal 1 butir 29 UU No.31/1997
tentang peradilan militer).
b.
kewajiban memberikan keterangan ahli
(psl 179 KUHAP )
c.
nilai kekuatan pembuktian keterangan
ahli (psl 183, psl 185 ayat 2)
3)
Surat
a.
pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat
atas sumpah jabatan adalah :
b.
berita acara
c.
surat yang dibuat menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan.
d.
surat keterangan dari seorang ahli
yang memuat pendapat berdasarkan eahliannya.
e.
surat lain yang hanya dapat berlaku
jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain (pasal 187
KUHAP).
f.
nilai kekuatan pembuktian sura
secara formal alat bukti surat
sebagaimana disebut pada pasal 187 huruf a,b,c adalah alat bukti sempurna.
4)
Petunjuk
a.
pengertian , KUHAP pasal 188 ayat
(1) adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
b.
cara memperoleh alat bukti petunjuk
menurut pasal 188 ayat (2) ,
petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :
a.keterangan saksi, b.surat, c.keterangan terdakwa.
5)
Keterangan Terdakwa
adalah istilah
baru sebagai alat bukti yang terdapat dalam KUHAP.
6)
Penuntutan oleh penuntut umum
penuntutan
atau dikenal juga dengan istilah requisitoir adalah langkah selanjutnya yang
diberikan kepada jaksa penuntut umum dalam lanjutan sidang pengadilan suatu
perkara pidana setelah pemeriksaan alat-alat bukti atau pembuktian.
Secara
sederhana isi tuntutan pidana itu :
1.
identitas terdakwa
2.
dakwaan ; primair , subsidair dst.
3.
pemeriksaan pengadilan :
a.
saksi-saksi
b.
keterangan terdakwa
c.
surat
d.
pemeriksaan ditempat kejadian
4.
fakta-fakta hukum
5.
hal-hal yang memberatkan
6.
hal-hal yang meringankan
7.
tuntutan hukuman
8.
Pembelaan (pleidoi) terdakwa /
penasihat hukum.
Setelah penuntutan dilakukan oleh
penuntut umum, maka kemudian kepada terdakwa atau penasihat hukum diberikan
kesempatan untuk mengajukan pembelaan atau pledoi .Pasal 182 ayat (1) b
mengatakan, selanjutnya terdakwa dan atau penasehat hukum diberikan kesempatan
untuk mengajukan pembelaan atau pledoi.
C. ACARA PEMERIKSAAN SINGKAT
1.
Syarat Pemeriksaan Singkat
pasal 203 KUHAP menentukan , (1)
yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau
pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan pasal 205 dan yang menurut penuntut
umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
2.
Tata Cara Pemeriksaan Singkat
a.
penuntut umum menghadapkan terdakwa,
saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti. (lihat psl 203 ayat 2 KUHAP)
b.
waktu, tempat, dan keadaan melakukan
tindak pidana diberitahukan lisan , dicatat dalam berita acara sebagai
pengganti surat dakwaan. (lihat psl 203 ayat 3 KUHAP)
c.
dapat diadakan pemeriksaan tambahan
paling lama empat belas hari. (pasal 203 ayat 3 (b) KUHAP)
d.
terdakwa dan atau penasihat hukum
dapat minta tunda sidang paling lama tujuh hari. (lihat psl 203 ayat 3(c)
KUHAP).
e.
putusan tidak dibuat secara khusus,
melainkan dalam berita acara sidang putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi
dicatat dalam berita acara sidang hakim memberikan surat yang memuat amar
putusan tersebut, isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti
putusan pengadilan dalam acara biasa (psl 203 ayat 3 (d) , (e) dan (f) KUHAP ).
D. ACARA PEMERIKSAAN CEPAT
1.
Acara Pemeriksaan Tindak Pidana
Ringan
a. syarat
pemeriksaan tindak pidana ringan
yang
diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang
diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan atau denda
sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan, kecuali
yang dalam paragraf 2 bagian ini (pasal 205 ayat (1) KUHAP).
b. Tata Cara
Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
1)
yang menghadapkan terdakwa dalam
sidang adalah polisi, bukan jaksa penuntut umum. (lihat psl 205 ayat 2)
2)
mengadili dengan hakim tunggal,
tingkat pertama dan terakhir, kecuali divonis penjara dapat banding. (lihat psl
205 ayat 3 KUHAP).
3)
pemeriksaan pada hari tertentu dalam
tujuh hari (lihat pasal 206 KUHAP).
4)
saksi tidak mengucapkan sumpah atau
janji kecuali jika perlu (pasal 208 KUHAP).
2.
Acara Pemeriksaan Perkara
Pelanggaran Lalu Lintas Jalan
a. syarat
pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan.
Yang
diperiksa menurut acara pemeriksaan dalam paragraf ini ialah perkara
pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas jalan
(pasal 211 KUHAP).
b. Tata Cara
Pemeriksaan Pelanggaran Lalu Lintas Jalan
1) tidak
diperlukan berita acara pemeriksaan (psl 207 ayat 1)
2) dapat
menunjuk seorang wakil.
terdakwa
dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya disidang (pasal 213
KUHAP).
.
BAB VIII
BANDING
A.
BANDING
Salah satu upaya hukum yang biasa
adalah banding. Lembaga banding diadakan dibuat oleh pembuat undang-undang,
oleh karena dikhawatirkan bahwa hakim yang adalah manusia biasa, membuat
kesakahan dalam menjatuhkan sesuatu putusan. Oleh karena itu, dibuka
kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding
kepada pengadilan tinggi.Upaya hukum banding diadakan oleh
pembuat undang-undang,karena dikhawatirkan ada kesalahan dari hakim dalam
menjatuhkan sebuah putusan,karena hakim juga manusia. Karena itu dibuka
kemungkinan bagi orang yang dikalahkan untuk mengajukan permohonan banding
kepada Pengadilan Tinggi.
Dengan diajukan permohonan banding,
perkara menjadi mentah lagi. Putusan pengadilan negeri, kecuali apabila
dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, atau putusan tersebut
adalah suatu putusan provisionil, tidak dapat dilaksanakan. Berkas perkara yang
bersangkutan, tidak dapat dilaksanakan. berkas perkara yang bersangkutan,
beserta salinan resmi putusan tersebut serta surat-surat yang lain-lainnya,
akan dikirimkan kepada pengadilan tinggi untuk diperiksa atau diputus lagi.
Yang akan diperiksa adalah semua surat-suratnya, dengan lain perkataan
berkasnya. Jarang sekali terjadi, bahwa orang yang bersangkutan, yaitu
penggugat dan tergugat diperiksa lagi oleh pengadilan tinggi. Hal ini hanya
dilakukan apabila pengadilan tinggi menganggap bahwa pemeriksaan belum sempurna
dilakukan dan menjatuhkan putusan sela dengan maksud untuk memperlengkapi
pemeriksaan tersebut sendiri.
Pada umumnya seandainya pun dilakukan
pemeriksaan tambahan putusan berdasarkan pengadilan tinggi,pemeriksaan tersebut
dilakukan oleh pengadilan negeri yang bersangkutan.
Hal itu dilakukan dengan maksud untuk
menghemat waktu dan biaya, adalah amat sukar bagi pihak-pihak yang bersangkutan
apabila harus menghadap pada persidangan pengadilan tinggi yang terletak diibu
kota propinsi. Pengadilan tinggi dalam taraf banding akan meneliti apakah
pemeriksaan perkara telah dilakukan menurut cara-cara yang ditentukan oleh
undang-undang dengan cukup teliti, selain itu akan diperiksa apakah putasan
yang telah dijatuhkan oleh hakim pertama sudah tepat dan benar, atau
putusan itu adalah salah sama sekali kurang tepat. Dalam hal putusan telah
dianggap benar, putusan pengadilan negeri akan dikuatkan. Apabila putusan
tersebut dianggap salah, putusan akan dibatalkan dan pengadilan tinggi akan
memberi peradilan sendiri, dengan lain perkataan, akan memberi putusan yang
lain, yang berbeda dengan putusan pengadilan negeri. Adakalanya, bahwa putusan
tersebut dianggap kurang tepat, sehingga putusan tersebut harus diperbaiki.
Diatas telah disinggung, bahwa adakalanya,
bahwa pemeriksaan perkara kurang lengkap, sehingga perlu diperbaiki, dalam hal
itu berkas perkara akan dikirim kembali kepada pengadilan negeri yang bersangkutan
untuk dilengkapi atau pengadilan tinggi akan melaksanakan pemeriksaan tambahan
sendiri.
Untuk memerintahkan hal itu akan
dijatuhkan suatu putusan sela, yang dengan jelas memuat hal-hal yang dianggap
kurang dan perlu ditambah pemeriksaannya.
Apabila
salah satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak menerima suatu putusan
Pengadilan Negeri karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu
atau menganggap putusan ini kurang benar dan kurang adil, maka ia dapat
mengajukan permohonan banding. ia dapat mengajukan perkara yang telah
diputuskan itu kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk memintakan pemeriksaan
ulang. Asas peradilan dalam dua tingkat itu bersandarkan pada keyakinan bahwa
putusan pengadilan dalam tingkat pertama itu belum tentu tepat atau benar dan
oleh karena itu perlu dimungkinkan pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih
tinggi.
B. DASAR HUKUM MENGENAI BANDING
Perlu kiranya mendapat perhatian bahwa tentang hal
banding dalam perkara perdata dan pidana berbeda peraturannya. aturan banding
dalam perkara pidana semula diatur dalam pasal 350 sampai 356 HIR yang kemudian
dicabut oleh S. 1932 no.460 jo. 580, sehingga hanya tinggal ketentuan yang
diatur dalam Reglement op de strafvordering voor de raden van justitie op Java en
het hooggerectshof van indonesia (ps. 282 dan seterusnya). Sekarang hal banding
dalam perkara pidana diatur dalam KUHAP pasal 67,87,233-243 KUHAP.
Bagi perkara perdata hal banding semula diatur dalam pasal 188 sampai dengan
194 HIR. tetapi dengan adanya pasal 3 jo. 5 Uudasar 1/1951 pasal-pasal tersebut
sekarang tidak berlaku lagi. dan yang sekarang berlaku ialah UU. 20/1947 untuk
Jawa dan Madura, sedang untuk daerah luar jawa dan madura ialah pasal 199
sampai dengan 205. kita lihat bahwa ketentuan mengenai banding masih
pluralistis.
Permohonan banding dapat di ajukan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak. Hal itu berarti, bahwa pihak yang dikalahkan dengan putusan pengadilan
dapat mengajukan permohonan banding. Dalam hal gugat dikabulkan, untuk sebagian
(dan untuk bagian yang lain atau yang selebihnya di tolak), atau dalam hal
telah diajukan gugat balasan, dan baik gugat asal, maupun gugat balik,
duaduanya dikabulkan atau ditolak, maka kedua belah pihak dapat mengajukan
permohonan banding, dengan lain perkataan permohonan banding yang diajukan oleh
salah satu pihak, tidak menutup kemungkinan bagi pihak yang lain untuk
mengajukan permohonan banding juga.
Pasal 6 tersebut juga menyebutkan
bahwa yang bisa mengajukan permohonan banding adalah pihak yang berkepentingan.
Hal ini berarti, bahwa pihak yang dikalahkan yaitu yang gugatannya ditolak atau
dikabulkan sebagaian atau yang gugatannya dinyatakan tidak dapat diterima, yang
dpat mengajukan permohonan banding. Bagaimana apabila permohonan banding justru
diajukan oleh pihak yang menang, serta permohonan banding dapat diterima?
Misalnya dalam hal gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, lalu pihak tergugat
dengan maksud untuk menutup, kemungkinan pengajuan gugat baru dalam waktu yang
dekat, kemudian tergugat yang menang itu, dengan maksud yang buruk, mengajukan
permohonan banding, apakah permohonan banding tersebut dapat diterima?
Apabila ditinjau dari maksud pembuat
undang-undang dengan mengadakan lembaga banding seperti dikemukakan diatas,
permohonan banding semacam diatas, harus dinyatakan tidak dapat diterima, oleh
karena itu diajukan oleh seorang yang tidak berkepentingan. Menurut penulis
yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan adalah pihak yang oleh utusan pengadilan
Negeri dikalahkan, dan bukan pihak yang dimenangkan, oleh karena itu permohonan
banding yang diajukan oleh pihak yang menang dengan maksud untuk mengundur
waktu atau dengan maksud jahat yang lain tidak dapat diterima dalam hal ini
telah diajukan gugat balik, maka apabila baik gugat pasal maupun gugat balik
dinyatakan tidak dapat diterima, maka oleh karena kedua belah pihak adalah
pihak yang dikalahkan kedua belah pihak atau salah satu pihak dapat mengajukan
permohonan banding. Perkataan diulangi menunjukkan bahwa perkara tersebut
menjadi mentah kembali. Diatas telah dikemukakan, bahwa pemeriksaan perkara
tidak diulangia dengan nyata, artinya pihak-pihak dan saksi-saksinya tidak
diperiksa lagi, melainkan perkataan diulangi berartim bahwa pemeriksaan dilakukan
dari mulai pengajuan gugat sampai putusan dijathkan, dengan lain perkataan
semua surat-surat bukti, utusan Pengadilan Negeri dibaca dengan teliti lagi,
semua segi pemeriksaan diulang, baik yang mengenai yang duduknya perkara
(fakta), maupun yang mengenai penerapan hukumnya oleh seorang hakim tinggi
sebagia hakim tunggal atau oleh suatu majelis hakim yang terdiri dari tiga
orang hakim tinggi.
Pemeriksaan banding dilakukan oleh
pengadilan tinggi yang berkuasa dalam hukumnya masing-masing, dengan lain
perkataan apabila suatu perkara diputuskan oleh pengadilan negeri di bandunng,
maka pengadilan tinggi tidak dibandunglah yang berwenang untuk memeriksa dan
memutuskan perkara tersebut bukan dipengadilan tinggi di medan. Pasal 7
undang-undang No.20 tahun 1947 memuat ketentuan, bahwa permohonan untuk
pemeriksaan banding harus disampaikan dengan surat atau lisan kepada panitera
pengadilan tinggi negeri yang menjatuhkan putusan itu.
Hal itu berarti, bahwa permohonan
banding dapat diajukan sendiri oleh pihak yang telah diberikan kuasa khusus
untuk mengajukan permohonan banding. Kuasa tersebut sewaktu mengajukan
permohonan banding, harus sudah memiliki surat kuasa khusus, dengan lain
perkataan tanggal pemberian kuasa khusus itu lebih mudah dari tanggal pengajuan
permohonan banding, setidak-tidaknya tanggalnya harus sama. Pengajuan
permohonan banding, oleh kuasa berdasarkan surat kuasa umum, seandainya pun
surat kuasa itu telah dibuat di hadapan seorang notaris, tidak dapat diterima
oleh pengadilan tinggi. Bagi pengajuan permohonan banding oleh kuasa, surat
kuasa khusus adalah suatu syarat mutlak. Apabila pihak yang berkepentingan itu
telah lupa untuk memberikan surat kuasa khusus kepada kuasanya, atau dalam
surat kuasa khusus tersebut terdapat kesalahan, maka permohonan banding dapat
diterima, asalkan surat kuasa yang dipergunakan dipengadilan negeri, yang dalam
praktek suka juga disebutkan surat kuasa dasar, mencakup, dengan lain perkataan
memuat pemberian kuasa juga untuk mengajukan permohonan banding. Permohonan
banding tersebut dapat diterima, oleh karena dianggap telah diajukan
berdasarkan surat kuasa dasar itu. Dalam praktek suka pula dibuatkan kesalahan,
yang tidak dapat dimaafkan, bahwa seorang kuasa yang telah diberikan kuasa
dengan lisan dipersidangan pengadilan negeri sewaktu perkara
tersebut diperiksa mengajukan permohonan banding lagi kleinnya, tanpa
adanya surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan banding. Permohonana
banding secara demikian itu tidak memiliki kekuasa untuk melakukan tindakan
tersebut. Permohonan bandinng yang dapat diajukan oleh seorang kuasa yang telah
diberi kuasa lisan dipersidangan, dapat diterima, apabila pada waktu pemberian
kuasa dipersidangan itu dengan tegas-tegas. Disebut bahwa pemberian kuasa itu
mencakup pemberian kuasa untuk mengajukan permohonan banding, hal mana harus
dimuat dalam berita acara sidang yang dibuat oleh pengadilan negeri. Suka pula
menjadi persoalan apabila surat kuasa dasar, ialah surat kuasa yang
dipergunakan dipengadilan negeri, telah disubtitusikan, dilimpahkan kelain
orang. Oleh karena surat kuasa telah dilimpahkan
keseluruhannya, kuasa yang pertama tidak memiliki hak lagi untuk mewakili
pemberian kuasa, dan permohonan banding diajukan oleh yang bersangkutan,
karena diajukan oleh seorang yang tidak mempunyai wewenang lagi untuk melakukan
tindakan tersebut, harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Dapat juga surat kuasa dilimpahkan
untuk sebagian, misalnya khusus untuk mewakili yang bersangkutan untuk siding
pada hari atau tanggal sekian. Dalam hal semacam itu, maka oleh karena
pemberian kuasa yang selainnya telah tidak dilimpahkan, maka kuasa yang semula
tetap berhak untuk mengajukan permohonan banding, asalkan syarat-syarat lain
sebagaimana disebut diatas terpenuhi. Oleh karena banyak kesalahan terjadi
dalam praktek, juga menyangkut permohonan bandung oleh orang-orang yang
berpengalaman, sebaliknya permohonan banding diajukan sendiri oleh pihak yang
berkepentingan.
Permohonan banding supaya dapat
diterima diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan. Pasal 7 (1) dan (2)
undang-undang No.20 tahun 1947, menyatakan bahwa permohonan banding harus
diajukan tenggang waktu 14 hari dihitung mulai berikutnya dari pengumuman
putusan kepada yang berkepentingan. Bagi pemohon banding yang tidak berdiam
dalam keresiden tempat pengadilan negeri tersebut bersidang, waktu itu
dijadikan 30 hari.
Pada dewasa ini, setelah undang-undang
No.14 tahun 1985 tentang mahkamah agung yang berlaku dalam pasal 46 menentukan,
bahwa permohonan kasasi dalam perkara perdata harus disampaikan secara tertulis
atau secara lisan melalui panitera pengadilan tingkat pertama yang telah
memutuskan perkaranya, dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau
penetapan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada pemohon, yang berlaku
untuk seluruh pelosok tanah air dan menggantikan undang-undang mahkamah agung
No. 1 tahun 1950, yang dalam pasal 113 (1) menyatakan, bahwa pemohonan kasasi
untuk jawa dan Madura harus diajukan dalam tempo 3 minggu sedang diluar jawa
dan Madura dalam tempo 6 minggu yang sekarang sudah tidak berlaku lagi. Patut
dipertanyakan tenggang waktu mengajukan permohonan banding, dalam praktek masih
dibedakan antara pemohon yang berdiam di dalam dan di luar keresidenan, seperti
yang diatur dalam pasal 7 undang-undang No.20 tahun 1947 itu. Dapatlah
dikemukan, bahwa dalam praktek, justru oleh karena kata keresidenan atau
residen, kini sudah tidak dikenal lagi, pula oleh karena menurut pasal 46
undang-undang mahkamah agung No.14 tahun 1985 bahwa permohonan kasasi untuk
seluruh indonesia harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan
atau penetapan pengadilan yang dimaksud diberitahukan, maka meskipun pasal 7
undang-undang No.20 tahun 1947 belum pernah dicabut namun dalam praktek semua
permohonan banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung
sesudah putusan pengadilan negeri tersebut diberitahukan kepada yang berkepentingan.
Hal itu, oleh karena setelah keresidenan tidak lagi dikenal, maka pasal 7 (2)
undang-undang No. 20 tahun 1947 juga tidak bisa diterapkan lagi.
Sebenarnya masih patut dipermasalahkan
mengenai perbedaan redaksi yang terdapat dalam pasal 7 (1) undang-undang No. 20
tahun 1947 dan yang terdapat dalam pasal 46 undang-undang No. 14 tahun 1985.
Pasal 1 (1) undang-undang No.20 tahun 1947 menyebutkan’’ 14 hari terhitung
mulai berikut hari pengumuman putusan……….’’, sedangkan pasal 46 undang-undang nahkamah
agung No.14 tahun 1985 menyebutkan ‘’14 hari sesudah putusan diberitahukan’’.
Bukankah apa yang disebutkan dalam kedua pasal itu berbeda 1 hari? Dalam
praktek yang berlaku adalah rumusan yang terdapat dalam pasal 46 undang-undang
mahkamah agung No. 14 tahun 1985, dan hal itu tidak menimbulkan masalah. Jadi,
apabila putusan diberitahukan (atau diumumkan/ dijatuhkan dengan dihadiri oleh
pihak yang bersangkutan) pada hari senin,misalnya tanggal 1 februari 1978, maka
permohonan banding paling lambat harus diajukan pada hari senin, tanggal 15
februari 1978.
Dalam hal pemohon banding atau
kuasanya tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, maka tenggang waktu tersebut
dihitung sejak hari berikutnya putusan tersebut diberitahukan kepada yang
bersangkutan. pemberitahuan putusan ini biasanya dilakukan kepada yang
bersangkutan dirumah atau apabila tidak bertemu pemberitahuan dilakukan melalui
lurah setempat dan dalam hal tempat tinggal dan tempat tinggal dan tempat
kediaman dari yang bersangkuatan tidak diketahui, pemberitahuan keputusan
dilakukan dengan cara penempelan dictum putusan tersebut pada papan pengumuman
yang untuk itu disediakan dikantor kabupaten, juga kadang-kadang pemberitahuan
putusan tersebut dilakukan melalui surat kabar.
C. Syarat dan Tata Cara Banding
Syarat untuk dapat dimintakan banding bagi perkara
yang telah diputus oleh pengadilan dapat dilihat dalam Pasal 6 UU No. 20/1947
yang menerangkan,apabila besarnya nilai gugat dari perkara yang telah diputus
itu lebih dari Rp.100 atau kurang, oleh salah satu pihak dari pihak-pihak yang
berkepentingan dapat diminta supaya pemeriksaan itu diullangi oleh pengadilan
tinggi yang berkuasa dalam daerah hukum masing-masing.
R. Subekti lebih rinci mengusulkan, hanya perkara yang nilai gugatannya
berjumlah Rp.100.000(seratus ribu) atau lebih yang boleh dimintakan
banding,alasannya untuk mempercepat tercapainya putusan yang berkekuatan hukum
yang tepat.(R. Subekti,1982 :152) .
Sampai saat ini tidak ada batasan nilai gugatan jika
pihak-pihak berperkara yang ingin mengajukan banding,karena dalam UU No.5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan UU No.7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama tidak ditemukan batasan nilai gugatan.
BAB IX
KASASI
A.
PENGERTIAN
Kasasi adalah pembatalan atas keputusan
Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir
dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang
bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana
yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 16 UU No. 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981
dan UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun cara pengajuan kasasi adalah sebagai berikut ;
Dalam hal perkara perdata, Permohonan kasasi
disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat
Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan
kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah
lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak berperkara, maka
pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan. Setelah pemohon membayar
biaya perkara, Panitera Pengadilan Tingkat Pertama mencatat permohonan kasasi
dalam buku daftar, dan pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang
dilampirkan pada berkas perkara. Selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari
setelah permohonan kasasi terdaftar, Panitera Pengadilan Dalam Tingkat Pertama
yang memutus perkara tersebut memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan
itu kepada pihak lawan.
Perlu diingat, dalam pengajuan permohonan kasasi
pemohon wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-alasannya,
dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan kasasi dimaksud
dicatat dalam buku daftar. Panitera Pengadilan Tingkat Pertama memberikan tanda
terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi
tersebut kepada pihak lawan dalam perkara yang dimaksud dalam waktu
selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari. Dalam hal ini, Pihak lawan berhak
mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada Panitera Pengadilan
Tingkat Pertama, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya
salinan memori kasasi.
Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap
memori kasasi, Panitera Pengadilan dalam tingkat pertama mengirimkan permohonan
kasasi, memori kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas perkaranya
kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku daftar
dengan membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaannya, membuat catatan
singkat tentang isinya, dan melaporkan semua itu kepada Mahkamah Agung.
Adapun pengajuan kasasi dalam perkara pidana tunduk
pada ketentuan Pasal 54 UU No.14 Tahun 1985 yang menegaskan, dalam pemeriksaan
kasasi untuk perkara pidana digunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana. Adapun prosedur pengajuan kasasi dalam perkara pidana adalah
sebagai berikut ;
Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu.diberitahukan kepada terdakwa. Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara. Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh penuntut umun, atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu.diberitahukan kepada terdakwa. Permintaan tersebut oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara. Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh penuntut umun, atau terdakwa maupun yang diajukan oleh penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Apabila tenggang waktu 14 hari telah lewat tanpa
diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan
dianggap menerima putusan. Apabila dalam tenggang waktu 14 hari, pemohon
terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu gugur. Atas anggapan
menerima putusan atau terlambat mengajukan permohonan kasasi, maka panitera
mencatat dan membuat akta.mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada
berkas perkara.
Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh
Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal
sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi.
Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung,
berkas tersebut tidak jadi dikirimkan. Apabila perkara telah mulai diperiksa
akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan
kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan
oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya. Perlu diingat, berdasarkan Pasal
247 ayat (4) UU No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, Permohonan kasasi
hanya dapat dilakukan satu kali.
Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang
memuat alasan permohonan kasasinya dan dalam waktu 14 (empat belas) hari
setelah mengajukan permohonan tersebut, harus sudah menyerahkannya kepada
panitera yang untuk itu ia memberikan surat tanda terima. Dalam hal pemohon
kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima
permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan
tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya. Alasan pengajuan
kasasi yang dibenarkan secara hukum hanyalah alasan-alasan apakah benar suatu
peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undangundang;
atau apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. (Pasal 253 ayat
(1) UU No. 8 Tahun 1981)
Apabila dalam tenggang waktu 14 hari setelah
menyatakan permohonan kasasi, pemohon terlambat menyerahkan memori kasasi maka
hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur. Tembusan memori kasasi yang
diajukan oleh salah satu pihak, oleh panitera disampaikan kepada pihak lainnya
dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi. Dalam tenggang waktu
14 hari, panitera menyampaikan tembusan kontra memori kasasi kepada pihak yang
semula mengajukan memori kasasi.
Dalam hal salah satu pihak berpendapat masih ada
sesuatu yang perlu ditambahkan dalam memori kasasi atau kontra memori kasasi,
kepadanya diberikan kesempatan untuk mengajukan tambahan itu dalam tenggang
waktu 14 hari. Tambahan memori/ kontra kasasi diserahkan kepada panitera
pengadilan. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah tenggang waktu
permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh panitera pengadilan segera disampaikan
kepada Mahkamah Agung.
Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan seperti
halnya dalam tingkat banding, atas dasar
surat-surat, yaitu terutama putusan, berkas perkara dan risalah-risalah kasasi.
Permusyawaratan hakim untuk menentukan putusan dilakukan dalam rapat tertutup,
tetapi putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Bagaimana si pemohon kasasi mengetahui tentang sudah
diputusnya perkaranya oleh Mahkamah Agung? Pemohon kasasi, akan diberitahu
tentang hal tersebut melalui Pengadilan Negeri/ Pengadilan Tingkat Pertama,
dalam hal ini Jurusita pada Pengadilan Tingkat Pertama tersebut akan
memberitahukan putusan kasasi itu kepada kedua belah pihak yang berperkara.
BAB X
PENINJAUAN KEMBALI
A. PROSEDUR PENINJAUAN KEMBALI
Peninjauan kembali adalah : upaya
hukum setelah adanya putusan dr Pengadilan Tingkat Kasasi disertai dng pendapat
jika adanya kekhilafan hakim dl penerapan suatu putusan atau adanya bukti-bukti
baru/novum yg belum pernah disampaikan dl persidangan (tingkat pertama, banding
atau kasasi)
Permononan
peninjauan kembali atas suatu putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan ke Mahkamah Agung Rl
berdasarkan alasan sebagaimana diatur dalam pasal 67 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung sebagai berikut :
1.
Apabila Putusan
didasarkan atas suatu kebohongan atau tipu muslihat
dari pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau pada suatu
keterangan saksi atau surat-surat bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu.
2.
Apabila setelah diputus, ditemukan
surat-surat bukti yang bersifat menentukan, yang pada waktu perkara diperiksa
tidak dapat diketemukan.
3.
Apabila telah dikabulkan suatu hal
yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
4.
Apabila mengenai suatu bahagian dari
tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
5.
Apabila antara pihak-pihak yang
sama, mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama, oleh Pengadilan yang
sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang satu dengan lainnya
saling bertentangan.
6.
Apabila dalam
suatu putusan terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan
lainnya.
Permohonan peninjauan
kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang
berperkara atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus
dikuasakan untuk itu. Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon
meninggal dunia, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya yang
masih hidup.
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukansatu
kali saja. Permohonan peninjauan kembali dalam waktu 180 hari setelah
putusan/penetapan mempunyaikekuatan hukum tetap. atau sejak diketemukan
bukti-bukti baru atau bukti-bukti adanya penipuan.
Pemohon peninjauan kembali harus
membayar biaya kepada Panitera Pengadilan Agama sebesar Rp. 75.000,- sesuai
dengan Keputusan Ketua MARl No. K~lA/017/SK/VI/l992 Tanggal lO Juni 1992 dan
selanjutnya Panitera mengirimkannya ke Mahkamah Agung RI.
Panitera wajib selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari
memberitahukan tentang permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawan
dengan memberikan/ mengirimkan salinan permohonan peninjauan kembali serta
alasan-alasannya kepada pihak lawan. Pihak lawan dapat mengajukan jawabannya
dalam tenggang waktu 30 hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan
peninjauan kembali tersebut.
Setelah jawaban diterima oleh Pengadilan Agama
Panitera wajib membubuhi cap, tanggal, hari diterimanya jawaban peninjauan kembali tersebut diatas
surat jawaban. Berkas perkara peninjauan
kembali bab bukti pembayaran biayanya oleh Panitera dikirimkan kepada
Mahkamah Agung dalam waktu 30 hari. Berkas perkara peninjauan kembali yang disampaikan ke Mahkamah Agung RI
dijilid/disusun dengan baik, dalam bundel A dan bundel B :
1.
Tertib Berkas Peninjauan Kembali Budel A (milik
Pengadilan Agama)
Susunan dan aturan bundel A
adalah sama dengan susunan dan aturan pada bundel A permohonan banding
kasasi.
2.
Bundel B (Arsip Mahkamah Agung RI)
Relas pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung (terutama kepada
pemohon peninjauan kembali) atau relaas pemberitahuan isi putusan banding bila
;
1.
Permohomin peninjauan
kembali diajukan atas putusan Pengadilan
Tinggi Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal
putusan diucapkan diluar hadir pihak berperkara;
2.
Akta peninjauan kembali;
3.
Surat permohonan peninjauan kembali.
dilampiri dengan surat bukti;
4.
Tanda terima surat
permohonan peninjauan kembali. Surat
kuasa khusus bila ada.
5.
Surat pemberitahuan dan penyerahan
salinan permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawan.
6.
Jawaban surat
permohonan peninjauan kembali.
7.
Salinan resmi Putusan Pengadi1an Agama/Foto copy
yang di1ega1isir oleh Panitera.
8.
Salinan resmi Putusan Pengadi1an
Tinggi Agama/foto copy yang dilegalisir oleh Panitera.
9.
Salinan Putusan Mahkamah Agung
RI/Foto copy yang dilegalisir oleh Panitera.
10.
Tanda bukti setoran biaya dari Bank
11.
Surat-surat lain yang mungkin ada.
B. REGISTER PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI
Kolom:
1.
Nomor urut
2.
Tanggal
permohonan PK.
3.
Nama, umur, pekerjaan dan tempat
tinggal pemohon.
4.
Nomor Perkara:
a.
Pengadilan Agama
b.
Pengadilan Tinggi Agama
c.
Mahkamah Agung RI.
5.
Nama para
pihak
6.
Tanggal pemberitahuan putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
7.
Alasan peninjauan kembali (PK), ini
ditulis secara jelas dan singkat.
8.
Tanggal pemberitahuan permohonan PK.
9.
Tanggal penerimaan jawaban PK.
10.
TanggaI/nomor surat pengiriman PK.
11.
Tanggal penerimaan kembali berkas
PK.
12.
TanggaI/nomor dan amar lengkap
putusan PK.
13.
Tanggal penyampaikan salinan putusan
PK dari Mahkamah Agung RI.
14.
Tanggal pemberitahuan bunyi putusan
PK.
15.
Jenis Perkara PK.
16.
Keterangan lain-lain.
C. PROSEDUR TEKNIS ADMINISTRASI PERKARA PENINJAUAN KEMBALI PADA PENGADILAN AGAMA
Penerimaan Perkara :
1.
Permohonan Peninjauan Kembali
diajukan kepada Petugas Meja I, dalam waktu 180 hari setelah putusan mempunyai
kekuatan hukum tetap atau sejak ditemukannya bukti baru. Petugas Meja I
menentukan biaya perkara peninjauan kembali.
2.
Petugas Meja I menyerahkan kembali
surat permohonan peninjauan kembali dengan dilengkapi SKUM (Surat Kuasa Untuk
Membayar) dibuat rangkap 3 (tiga) :
a.
Lembar pertama untuk Pemohon
Peninjauan Kembali.
b.
Lembar kedua untuk Pemegang Kas.
c.
Lembar ketiga dilampirkan dalam
surat permohonan banding, berkasnya kemudian diserahkan kepada Pemohon
Peninjauan Kembali.
3.
Pemohon Peninjauan Kembali membayar
panjar biaya perkara keninjauan kembali yang tercantum dalam SKUM kepada Kasir.
4.
Kasir setelah menerima pembayaran
panjar biaya perkara peninjauan kembali, menandatangani dan membubuhkan
cap tanda lunas pada SKUM dan membukukan panjar biaya perkara peninjauan
kembali yang tercantum pada SKUM dalam Buku Jurnal Keuangan Perkara Peninjauan
Kembali.
5.
Kasir menyampaikan surat permohonan
peninjauan kembali yang dilengkapi SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dengan cap
tanda lunas kepada Panitera.
6.
Kasir mengirimkan biaya permohonan
peninjauan kembali kepada Bank BRI Cabang Veteran, Jl. Veteran No. 8 Jakarta
Pusat, pada rekening Mahkamah Agung.
7.
Panitera membuat Akta Permohonan
Peninjauan Kembali sebagai tanda diterimanya permohonan peninjauan kembali dan
dilampirkan pada berkas perkara peninjauan kembali.
8.
Panitera memerintahkan Petugas Buku
Register di Meja II untuk mencatat perkara peninjauan kembali dalam Buku
Register Permohonan Peninjauan Kembali.
9.
Petugas Meja II mencatat perkara
tersebut dalam Buku Register Permohonan Peninjauan Kembali dan Buku Register
Induk Perkara Gugatan.
10.
Panitera dalam waktu 14 (empat
belas) hari memberitahukan adanya permohonan peninjauan kembali kepada pihak
lawan (Termohon Peninjauan Kembali) dengan memberikan salinan permohonan
peninjauan kembali beserta alasan-alasannya, dengan cara menyerahkan Instrumen
PBT / Pemberitahuan Perkara Peninjauan Kembali kepada Juru Sita Pengganti
melalui Petugas Meja III.
11.
Petugas Meja III menyerahkan
Instrumen PBT tersebut kepada Juru Sita Pengganti untuk melaksanakan
pemberitahuan berdasarkan giliran yang telah ditetapkannya atas nama Panitera.
12.
Juru Sita Pengganti datang kepada
Kasir dengan menunjukkan instrumen PBT untuk minta biaya pemberitahuan.
13.
Juru Sita Pengganti menyampaikan
relaas pemberitahuan permohonan peninjauan kembali kepada Termohon Peninjauan
Kembali.
14.
Juru Sita Pengganti menyampaikan
hasil relaas pemberitahuan permohonan peninjauan kembali kepada Panitera
Pengadilan melalui Petugas Meja III.
15.
Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari sejak permohonan / alasan pemberitahuan peninjauan kembali diterima,
Termohon Peninjauan Kembali harus mengajukan jawaban dengan menyerahkannya
kepada Petugas Meja III untuk diteruskan kepada Panitera.
16.
Surat Jawaban atas permohonan dan
alasan peninjauan kembali yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama harus
dibubuhi hari dan tanggal penerimaan di atas Surat Jawaban tersebut.
17.
Panitera mengirimkan berkas perkara
kasasi (bendel A dan B) ke Mahkamah Agung dalam waktu 30
(tiga puluh) hari sejak Surat Jawaban diajukan.
18.
Apabila permohonan peninjauan
kembali telah diputus oleh Mahkamah Agung, salinan putusan dan bundel A
dikirimkan oleh Mahkamah Agung kepada Pengadilan Agama, dengan surat pengantar
yang tembusannya dikirim kepada pihak Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi.
19.
Setelah salinan putusan dan bundel A
diterima oleh Panitera, salinan putusan tersebut disampaikan kepada Ketua
Pengadilan Agama.
20.
Ketua Pengadilan Agama harus membaca
salinan putusan peninjauan kembali dengan cermat dan teliti sebelum disampaikan
kepada para pihak, kemudian dikembalikan kepada Panitera.
21.
Panitera menyerahkan Instrumen PBT
Amar Putusan Mahkamah Agung kepada Juru Sita Pengganti (JSP) melalui Petugas
Meja III untuk dilakukan pemberitahuan kepada Pemohon Peninjauan Kembali dan
Termohon Peninjauan Kembali, dengan cara seperti langkah ke 10 s/d 14.